Ada yang bilang, “ucapin aja dulu, kali aja kesampaian”. Dan untuk kesekian kalinya saya merasa waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah 4 hari saya di Toraja. Seperti bermimpi dan saya merasa akan segera bangun, dengan sedikit berkeringat. Toraja menjadi saksi bisu traveling pertama saya menggunakan pesawat di saat pandemi. Rasanya…… yang jelas tak membuat saya menjadi ironman, haha.
Bukan malas. Tapi saya bingung mencari kata yang tepat untuk menggambarkannya. H-1 saya belum memikirkan apa saja yang akan dibawa, semua pakaian dan sepatu masih tertata rapih di tempatnya. Koper masih kosong, belum terisi, bahkan belum saya turunkan dari atas lemari. Yang penuh terisi hanya kepala saya yang saat itu masih memikirkan hasil rapid test, menunggu 10 menit seperti seharian, rasanya seperti mau muntah tapi tak bisa.
Nama saya pun dipanggil, dan dengan muka panik saya mengambil kertas hasil rapid tersebut. Agak lebay, tapi faktanya saya sedikit gemetar ketika membuka lipatan kertas hasil tes. Non-reaktif (IgM) dan Non-reatif (IgG), tulisan itu langsung terlihat karena di-bold, berbeda dengan tulisan lainnya. Yang saat itu saya anggap tak penting, hehe. Detik setelahnya saya merasa bernafas lebih lega, pikiran lebih plong, dan tak sabar buat naik pesawat setelah sekian lama menunggu dan menghanguskan 3 tiket pesawat di tahun ini. Yeay.
Wajib, Patuhi Protokol Kesehatan Kalau Mau Terbang!
Kita semua pasti tahu kalau hasil rapid test non-reaktif yang masih berlaku adalah salah satu syarat wajib untuk naik pesawat, selain menggunakan masker. Setidaknya sebelum hadir peraturan baru dari pemerintah. Untuk itu, tips dari saya adalah pastikan kalian jaga kesehatan sebelum tes, jaga pola tidur, jangan begadang, konsumsi vitamin dan minum susu untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Dan juga, kalau mau lebih ‘aman’ lagi saat naik pesawat, bisa pilih maskapai yang menjual tiketnya bersamaan dengan rapid tes gratis, karena ‘bisa jadi’ maskapai tersebut juga sudah menerapkan protokol kesehatan di dalam pesawatnya. Saat itu saya menggunakan maskapai Citilink.
Koper sudah digeret. Kangen sekali suara gesekan roda yang sudah lama sekali tak terdengar. Apalagi ketika memasuki Stasiun KA Bandara Manggarai. Benar-benar kangen yang terobati. Rasa ragu pun seketika hilang karena protokol kesehatan sudah mulai saya rasakan saat naik KRL Commuterline (kalau ini sih sebenarnya sudah sering saya rasakan, karena moda transportasi teridola, hehe), yang kemudian terintegrasi langsung ke KA Bandara Manggarai, tanpa harus keluar-keluar area stasiun. Langsung ada akses tinggal nyebrang lewat jalur 7.
Beli tiket secara online adalah jalan ninja saya untuk semakin nyaman menggunakan KA Bandara. Selain memang saya anaknya cashless banget. Udah gitu ya, saya juga baru tahu kalau KA Bandara sekarang punya cara pembayaran baru, yaitu TAP and GO, pembayaran dengan kartu uang elektronik mulai dari Flazz, Brizzi, JakCard, dan juga Tap Cash dengan saldo minimal 70k. Sungguh, semakin mudahnya pembayaran di hidup ini, ckckck.
Selain masker yang selalu menutupi senyum manis saya (dan melindungi tentunya) serta akrilik pembatas kursi, saya rasa tak banyak perubahan di dalam KA Bandara. Masih sama, fasilitas yang lengkap dengan kebersihan yang selalu terjaga. Tak sampai satu jam, saya pun sampai di Bandara Soekarno-Hatta, dan langsung kaget kalau ternyata skytrain sedang tak beroperasi, namun pengelola bandara menyediakan fasilitas bus gratis yang berangkat setiap 30 menit sekali untuk mengantarkan penumpang pesawat ke terminal dan juga sebaliknya.
Saya rasa hal tadi juga menjadi faktor pendukung agar kita semua datang lebih awal lagi kalau mau naik pesawat. Faktor utamanya? Yaitu validasi dokumen rapid test. Saat saya datang, memang belum terlalu ramai, tapi setelah saya keluar barisan ternyata antrian mulai ramai. Dan ini wajib diantisipasi.
Pastikan kita semua membawa hasil rapid test non-reaktif. Keluarkan bersama dengan KTP, agar tak ribet saat berada di depan petugas. Setelah divalidasi, carilah tempat duduk dan atur posisi yang nyaman untuk kita mengisi Health Alert Card (HAC), bisa unduh aplikasinya atau melalui web di inahac.kemenkes.go.id, kemudian isi data-data yang dipinta. Oh iya, jangan lupa untuk download eHAC nya, atau screen capture barcode yang tersedia, sehingga saat dipinta (wajib discan) di tempat kedatangan bandara tujuan kita enggak perlu buka web/download lagi. Tips simple dari saya begitu, biar gak usah isi ini-itu lagi.
Selesai proses validasi hasil rapid test non-reaktif dan sudah mengantongi eHAC, artinya kita siap buat terbang. Jujur, saat itu saya seperti baru pertama kali terbang, excited banget. Ada beberapa petugas yang aktif bergerak mondar-mandir, saya rasa sedang patroli masker, ditambah kursi-kursi dengan tanda X juga tak luput dari perhatian saya, juga handsanitizer di sudut-sudut strategis pun menjadi bukti nyata betapa tegasnya peneapan protokol kesehatan di bandara saat ini. Dan yang paling saya apresiasi adalah kita semua yang sadar diri akan pentingnya menaati peraturan yang berlaku. Lanjutkan!
Hi, Makassar!
Masih segar dalam ingatan, Pesawat Citilink yang saya naiki cukup lama berputar, tak turun-turun karena berdasarkan informasi di Makassar sedang turun hujan. Untungnya sang pramugari tak berinisiatif untuk berpantun, bisa makin pusing saya. Yang saya lakukan, dan penumpang lainnya, tentu hanyalah bersabar. Mau ngobrol pun enggak bisa, dan tentunya tidak diperbolehkan, apalagi di sebelah kita semua kursi kosong dengan sign X, haha. Ya, Citilink adalah salah satu maskapai yang sudah menerapkan social distancing di dalam pesawatnya.
“Ikan hiu geter-geter, see you leter”, pantun yang menjadi salam perpisahan. Hembusan angin Bandar Udara Internasional Sultan Hassanuddin seakan menyapa, bersamaan dengan aroma basah hujan yang langsung menembus masker saya. Rasanya dunia berhutang satu jam sama saya. Agak bodoh ketika saya ingin menjabarkan kerugian tersebut. Perbedaan waktu WIB dan WITA sempat membuat saya pusing, alih-alih jetleg kalau saya ditanya dan jawabannya gak nyambung, haha.
Pukul 10 pagi waktu setempat. Bandara Sultan Hasanuddin terbilang cukup ramai, sangat ramai malahan kalau mengingat pandemi, meskipun sedang berbenah di banyak sudut dan saya merasa melihat bangunan baru, bandara ini tetap menunjukan protokol kesehatannya. Semua menaatinya, mulai dari menggunakan masker, jaga jarak, dan tertib dalam antrian pengisian (untuk yang belum mengisi di web/aplikasi) dan pengecekan eHAC di gate keluar
Oh iya, proses validasi rapid test non-reaktif yang masih berlaku di bagian luar/keberangkatan bandara pun tertata rapih. Dan kalau tak salah, bandara ini memang punya Tim Physical Distancing yang terdiri dari Satgas TNI dan Tim Angkasa Pura (AP) dengan tugasnya mengawasi plus menegor jika ada yang melanggar. Salut!
Beneran Bisa Naik Damri Dari Bandara ke Toraja?
Tujuan utama saya traveling kali ini adalah Tana Toraja! Tak pernah terpikirkan kalau dapat kesempatan ke sini. Belum explore saja sudah ditanya “Mau ke mana? Ngeliat kuburan?”, dan bener juga sih, karena kebanyakan cerita di web ngasih info kalau ke Toraja banyak wisata pemakamannya, hehe.
Niatnya mau stay sebentar di Makassar buat meluruskan kaki, tapi enggak jadi. Pas keluar gate kedatangan, saya melihat tulisan “Damri Makassar – Toraja Rp. 110.000”. Otak saya langsung berpikir betapa hematnya memilih angkutan ini, haha.
Tak pakai lama dan ragu, saya langsung kepo dan bertanya-tanya dengan petugas Loket Damri di sana. Yang bikin kaget, saya langsung ‘ditembak’ dengan thermogun dan diizinkan menggunakan hand sanitizer terlebih dahulu. Untuk loket dengan ukuran rada kecil, Damri berhasil membuat saya jatuh hati dan merasa aman dengan protokol kesehatan yang disediakan.
“Pemberangkatan setiap hari ada, kalau dari Makassar jam 11.30 WITA, sedangkan dari Toraja sekitar pukul 09.00 WITA”, kata penjaga loket. Sempat saya minta ulang sih perkataanya karena ia menggunakan masker dan face shield, rada gak kedengeran soalnya, hehe, tap ikan demi keamanan ya. “Ini berangkatnya langsung dari sini?”, tanya saya. Dan ternyata “iya”, langsung ada shelternya di bandara, jadi intinya saya enggak perlu keluar bandara lagi buat ke terminal, hemat waktu dan uang lagi! Yeay.
Info yang saya kumpulkan adalah, saya harus ke terminal terlebih dahulu untuk mencari bus malam (pemberangkatan malam gitu) dengan perkiraan harga 200-300K menuju Toraja, dan itupun harus keluar bandara dulu, ongkos lagi.
Saya pun memutuskan untuk menggunakan Damri tersebut, harga lebih murah dan langsung jalan karena sudah hampir jam 11.30 WITA saat itu. Saya pikir, saya bisalah tidur di perjalanan nantinya.Dan saya kaget lagi! Jatuh hati untuk yang kedua kalinya mungkin, kali ini dengan system pembayarannya yang sudah ‘kekinian’ banget, ternyata selain bisa pesan via online pembayaran di loket pun juga bisa dengan cashless seperti Ovo, LinkAja, GoPay, dan Brizzi. Fix, Damri dan aku yang jarang pegang uang cash cocok banget!
Kenapa Harus Naik Damri Ke Toraja?
Pukul 11.30 WITA pun tiba, waktunya saya dan beberapa penumpang lainnya naik ke dalam armada Damri, Toyota Hi-Ace jenisnya seperti armada travel kalau ke Bandung, dengan kapasitas maksimal 6 orang kalau tak salah, soalnya beberapa bangku diberi tanda X agar tak digunakan, jadi tetap jaga jarak di dalamnya.
Saya duduk dengan tenang dan mulai memejamkan mata. Nampaknya berlangsung lama, karena saat membuka mata dan melihat ke luar jendela kami sudah tiba di Pare-Pare, tepatnya di Jalan Bau Massepe (seingat saya yang membaca alamat di papan toko), yang kemudian melewati patung Habibie-Ainun, sambil ditemani lagu “Kemesraan ini….” yang semakin menegaskan kalau perjalanan ini jauh sekali.
Kurang lebih 8 jam, waktu yang akan saya tempuh dengan Damri menuju Tana Toraja. Saya tak terlalu kaget karena yang saya tahu memang selama itu, 380 KM, bayangkan saja sejauh apa, belum lagi jalannya yang berkelok-kelok. Untungnya, ruang kaki mobil ini cukup nyaman, pas buat selonjoran. Terus, Damri ini juga ada 2 kali pemberhentian wajib (selain berhenti dadakan kalau kita mau foto-foto pas ada pemandangan bagus, itupun kalau penumpang se-mobil setuju ya, sopirnya bisa diajak asik soalnya).
Pemberhentian pertama untuk ISHOMA dan kedua untuk ngopi-ngopi sambil menikmati pemandangan bukit. Jujur ya, saya tak membayangkan kita akan berhenti sejenak, karena saya berjuang banget buat mengabadikan foto bukit tersebut saat mobil sedang melaju, dan itu susah banget.
Bedanya Damri dengan bus lainnya (bus malam yang sempat saya mau gunakan) selain harga dan ukuran yaitu jadwal pemberangkatan, kalau bus lainnya biasanya waktu malam jalannya, sedangkan Damri memilih untuk beroperasi di siang hari, sehingga pengguna bisa menikmati pemandangan sepanjang jalan menuju Tana Toraja, dan itu indahhhhh banget. Sebenarnya pilihan sih, kalau mau tidur juga boleh, hehe.
Memasuki jalan bekelok dengan pemandangan bukit-bukit. Pukul 17:53 WITA saat saya melihat layar smartphone. Warna senja perlahan muncul, sungguh menarik perhatian. Sampailah kami di tempat pemberhentian kedua, sebuah kedai kopi dengan view yang luar biasa. Kopinya pun enak, rasanya aroma Toraja mulai menyambut saya, bersama dengan hawa dingin yang mulai memeluk.
“Ayo-ayo, ada yang mau foto di sini gak?”, Ujar Pak Sopir sembari menunjuk gerbang bertuliskan ‘WELCOME TO TANA TORAJA’ dengan bentuk khas rumah adatnya. Enggak bisa dipancing, saya pun turun dan langsung mengabadikan momen tersebut. Kalau naik bus malam, mungkin saya tak tahu ada gerbang ini, hehe. Selanjutnya, ucapan selamat datang juga terlihat ketika saya memasuki pusat kota (nampaknya), bertuliskan “SELAMAT DATANG – KOTA MAKALE – TORAYA MAELO” di tengah kegelapan. Fix, saya sudah sampai di Tana Toraja.
Pemberhentian terakhir Damri tujuan Makassar – Toraja ini adalah Kuburan Batu Lemo. Kuburan? Malem-malem? Iya bener! Tapi sebelum ke sana, Damri juga berhenti di Terminal Makale. Dan untuk untuk pemberangkatan keesokan harinya pun sama, jam 9 pagi dari Kuburan Batu Lemo kemudian melaju ke Terminal Makale. 1 pergi dan 1 pulang, begitulah sistemnya, jadi setiap hari Damri beroperasi dari dan ke Tana Toraja. Semakin mudah dan murah banget buat sampai sini.
“Akhirnyaaaaa sampai di Tana Toraja!” dan gak sabar buat mandi, terus beneran tidur buat besok exploreTana Toraja. Saya pikir, memilih Damri untuk keTana Toraja adalah tepat, karena perjalana siang hari seperti mendapatkan bonus melihat pemadangan Sulawesi Selatan yang memukau. Terus, karena bus travel jadi penumpangnya terbatas, sehingga tetap aman dan terkendali soal social distancing.
"Penasaran gak selama saya di Tana Toraja ke mana saja? Next post ya! Istirahat dulu....."
bisa dicoba nih, itungannya termasuk hemat banget. malah aku rencananya ya naik bis malam itu yang sering diceritakan
ReplyDeletehotel terdekat dgn pool damri di kuburan batu lemo apa ya kak?
ReplyDelete
ReplyDelete"Embark on a scenic adventure from Makassar to Toraja with Damri, where each ride becomes a journey ||How much does a Divorce cost New York||How Much Divorce Cost in New York of breathtaking landscapes and cultural discovery. Experience the thrill and beauty as Damri transports you seamlessly, making the trip as memorable as the destination itself."