Review Film Professor and The Madman

“Tiap kata saat digunakan jadi indah, karena menunjukan artinya sendiri”

 


Saat dialog di atas muncul, saya langsung kembali menegakkan kepala dan berusaha terus fokus dengan kalimat-kalimat yang diucapkan para pemain. Otak saya seperti dikagetkan, dan menemukan kembali hasrat untuk menyelesaikan film ini. Kekuatan dialog dalam film ini seperti magis buat saya. Pintu gerbang yang mungkin mempertemukan saya dengan sisi lain dari ‘pusingnya’ pembuatan Kamus Oxford. Kalian pasti tahu, kamus yang wajib dibawa saat pelajaran Bahasa inggris di SMA dulu, hahadan jarang saya buka tepatnya.

 

   Kembali, Mola TV menjadi media streaming yang menambah pengetahuan saya, dan kembali membuat saya jatuh hati. Selain pemuas hasrat hobi nonton saya juga, hehe. Pas tahu Film Professor and The Madman hadir di Mola Movies, saya tak pakai lama untuk membeli paketnya lagi! 12.500 sudah bisa nonton film-film exlusive, ditambah banyak film-film Indonesia kesukaan saya juga yang mulai hadir di sana. 

 

Saya belum pernah membaca novelnya, buat kalian yang belum tahu, film Professor and The Madman adalah adaptasi dari buku berjudul The Surgeon of Crowthorne karya Simon Wichester yang diterbitkan pada tahun 1998. Karena diadaptasi dari buku laris, saya sudah membayangkan betapa kualitas naskah dalam film ini tak main-main. Dan benar saja, saya jatuh hati banget sama dialognya, Farhad Safinia dan Todd Komarnicki yang berada di balik scenario patut diapresiasi!

 

“Yang aku tahu tentang cinta adalah rasa sakit yang sering kali menjadi obat”, Kata Murray. Tokoh utama yang yang langsung membuat saya kagum di awal penampilannya. “Putus sekolah umur 14 tahun untuk mencari nafkah”, adalah kalimat yang ia lontarkan saat interview dihadapan anggota komite pengawas Oxford University Press, dan langsung menyalahkan sumbu-sumbu sarkastik.

 

Kalau kalian pikir film kembali menegangkan, kalian salah! Film justru menampakan sisi Mr Murray yang akan membuat kita semua kagum. Bayangkan ya, bayangkan! Mr Muray langsung berkata, “Saya fasih dalam Bahasa latin dan Yunani, juga sangat memahami Bahasa Romawi, Bahasa Italia, Perancis, Spanyol dan Katalan. Saya juga sedikit bisa Bahasa Portugis, Vaudois, Provencal, dan dialek lainnya.terkait Bahasa teutonic, Saya juga fasih Bahasa Jerman, Belanda, Denmark, dan Flemish”. Suasana langsung hening, and he did it, ia lolos interview.



Tak sampai di situ saja, kekaguman saya akan sosok Mr Murray seakan terus tumbuh di paruh awal film. Adegan meja makan, saat ide ‘radikal’ hadir, dan membentuk film ini. Untuk urusan akting, Mr Murray yang diperankan oleh Mel Gibson memang sudah tak diragukan lagi, awards yang ia terima sudah banyak, mulai dari best actor hingga best director, and director of the year. 

 

Selain Mel Gibson, film ini juga dibintangi oleh Sean Peen sebagai William Chester Minor, dan urusan akting juga sudah tak diragukan lagi. W.C Minor semakin ia dikenal dalam film ini, yang hampir sepanjang film ia seperti berhadapan dengan dua pilihan. Pertama, bersalah tapi menakutkan. Kedua, tak bersalah tapi menyakitkan. Apalagi ketika berhadapan dengan urusan cinta. Entan mengapa saya merasa unsur percintaan dalam film ini adalah ‘vilan’ sebenarnya, haha.



Natalie Dormer yang berperan sebagai Eliza Merret juga punya andil dalam film ini. Bahkan bagi saya, bentuk nyata dari dialog “Terkadang, saat kita ditolak, saat itulah kita harus bekerja keras”. Jujur, saya tak bisa merasakan dengan detailapa yang ia rasakan, tapi jika dipikirkan, ia berada di posisi ketika kemarahan, kebingungan, dan cinta yang tumbuh bersamaan di satu tempat. Terlalu banyak teka-teki untuk tokoh ini bagi saya. Tapi, “Makin mustahil, makin besar rasa cintanya” benarkan?

 

Bagi saya, alur film Professor and The Madman bikin mikir dan bercermin banget. Bisa dibilang, seperti berhadapan dengan zaman sekarang, ketika keterampilan sebenarnya bisa menjadi faktor yang mengendalikan saat interview. Saat Ide-ide radikal tenyata dibutuhkan banget untuk membuat suatu yang luar biasa. Edisi pertama Kamus Oxford yang menjadi pondasi dalam film ini seakan membuktikannya, dan tentunya dengan banyak cinematography yang menjadi pemanis, saya suka sekali. 



Dan kalian tahu apa yang semakin membuat film ini begitu menghipnotis? Musik! Musik lagi musik lagi tepatnya. Meskipun musik dalam film ini terkesan ‘irit’, tapi ketika hadir ia langsung mengambil alih dan menambah kekuatan untuk film ini. Ada satu part dalam film ini yang saya suka-suka-suka banget, saat Mr Murray dan Minor berada di satu bangku di halaman, seketika keduanya seperti mengajak saya untuk memejamkan mata dan membayangkan hal tergila, suara daun yang bergesekan berubah menjadi suara tembakan lalu berubah lagi menjadi gemuruh tepuk tanganMungkin ini hanya berjadi di rumah sakit jiwa?


 

“Semua karya besar dan indah tercipta dari tatapan pertama tanpa menyusut ke dalam kegelapan” - W.C Minor.

10 comments

  1. bener banget.. dari film ini aku bisa paham kalau pembuatan kamus tiu gak mudah bahkan harus cari kata dan makna dari abad2 lalu

    ReplyDelete


  2. gw suka banget sama peran Ada, dia sebagai istrinya Murray dengan sabar rawat anak anaknya dan selalu ada buat Murray

    ReplyDelete
  3. bagi gw ini film keren dan beda dari yang lain. alur ceritanya gak mudah dicerna tapi sebenernya punya arti yang mendalam

    ReplyDelete

  4. Setuju klo alur cerita film tersebut bisa bikin kita bercemin bahkan jadi nambah pengetahua kita kalau kondisi mental sesorang itu sangat penting

    ReplyDelete
  5. Aku agak speechless sama karakter Murray karna dari awal dia tuh diremehin tapi ternyata punya kemampuan yang hebat

    ReplyDelete
  6. lumayan sebel sama karakternya Eliza, bisa bisanya jatuh cinta sama orang yang udah ngebunuh suaminya

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. ngebayangin jadi Dr.William, pengidap skizofrenia tapi dia juga dihantui rasa bersalahnya ke George karna udah ngebunuh dan mencuri hati istrinya

    ReplyDelete
  9. Buat aku pribadi sih musik gak terlalu mengesankan tapi latar tiap scenenya itu yang menurut aku juara

    ReplyDelete
  10. Saya belum pernah membaca novelnya, buat kalian yang belum tahu, film Professor and The Madman adalah adaptasi dari buku berjudul The Surgeon of Crowthorne karya Simon Wichester yang diterbitkan pada tahun 1998. Karena diadaptasi dari buku laris, saya sudah membayangkan betapa kualitas naskah dalam film ini tak main-main. Dan benar saja, saya jatuh hati banget sama dialognya, Farhad Safinia dan Todd Komarnicki yang berada di balik scenario patut diapresiasi!
    cricut 3d flower
    Valentine’s Day Cricut designs
    Sarcastic quotes for Cricut projects
    Mountain cut file for Cricut

    ReplyDelete