“Traveling benar-benar mengubah banyak hal. Dan aku di tengah perubahan
itu”
Sampailah kami di Pelabuhan Pulau
Ba’a. Pelabuhan khusus penumpang di Pulau Rote. Sungguh tak terasa, sudah 2 jam
berlalu. Atau lebih tepatnya 2 jam saya
terlelap. Seperti smartphone yang
habis di-charge, tenaga saya full lagi, rasanya tak sabar untuk
segera explore daerah paling selatan
nusantara ini. Mercusuar berdiri tegak,
langit biru, dan angin kencang! Benar-benar sambutan yang menarik.
Kali pertama main ke Pulau Rote, saya rasa kami butuh beradaptasi
terlebih dahulu. Apalagi soal panasnya,
yang bisa dibilang satu tingkat di atas Kupang. Sesampainya di Pelabuhan
Pulau Ba’a, kami memutuskan untuk langsung ke hotel, sekedar mendinginkan kepala
dan melanjutkan istirahat. Datang dan pergi, begitulah suasana pelabuhan siang
itu. Ketika kami datang, kemudian turun dari kapal, penumpang lainnya dari
Pelabuhan Pulau Ba’a pun bergegas.
Yang Wajib Dilakukan Kalau di Rote!
Cukup untuk kami membuang waktu
di balik kata istirahat. Sore pun tiba, dan menikmati matahari
terbenam di Pulau Rote adalah hal yang tak boleh dilewatkan. Pantai
Nemberala ada tujuan kami, yang kata orang lokal, pantai ini adalah salah satu
pantai terbaik yang dimiliki Rote.
Sejatinya, Rote punya angkutan
umum dalam kota yang melintas di depan hotel saya menginap. Tapi menurut saya,
untuk ke beberapa destinasi wisata lebih baik menyewa kendaraan, bisa motor
ataupun mobil, dan tak sulit mendapatkannya karena setiap hotel menyediakan
jasa tersebut dengan harga mulai dari 300K tanpa supir dan 400k sudah termasuk
supir (untuk mobil). Kami memilih menyewa
dengan supir, kalian harus coba, selain menjadi guide yang terpercaya, orang
lokal sana juga asik buat diajak ngobrol.
Dari hotel saya menginap, yang
berada di pusat kota Pulau Rote, menuju ke Pantai Nemberala memakan waktu
sekitar 1 jam. “Kira-kira satu jam
perjalanan”, saya ingat sekali kalimat itu. Selalu terngiang di telinga
saya ketika saya merasa perjalanan enggak sampai-sampai, saya merasa sudah
lebih dari satu jam. Perspektif lain yang
saya lihat di sini, perjalanan yang tanpa macet dan tanpa lampu merah justru benar-benar
terasa lama.
Seketika saya ingin mengulur
waktu, lebih lama lagi di perjalanan, suasana yang mungkin akan saya selalu
ingat, saat melihat anak-anak babi berkejaran dengan begitu menggemaskannya. “Hewan ternak di sini ya dibiarkan saja,
pulang dengan sendirinya” ujar guide
kami yang terus bercerita. Sayangnya saya tak terlalu fokus mendengar, lebih
memilih untuk melihat betapa rapihnya para kuda berjejer berjalan di pinggir
jalan.
Pikiran ini langsung teringat halaman
rumah. Hari itu adalah hari di mana jiwa
nasionalisme saya dipertanyakan. Ketika mobil mulai menurunkan
kecepatannya, mata ini menangkap moment yang luar biasa, sebuah rumah kayu
dengan tiang bambu tinggi di depannya yang belum menurunkan bendera merah putih,
masih berkibar seakan diiringi lagu Indonesia Raya. Seperti lokasi di film
heroik. Saya malu, dan terus mengingat apakah bendera merah putih masih
berkibar di depan rumah saya.
Perhubungan Yang Menghidupkan Rote
Akhirnya sampai juga di Pantai Nemberala.
Pasir putih menyapa, saya langsung
melepas alas kaki untuk merasakan hangatnya. Beberapa turis mancanegara
mulai terlihat kembali dari aktivitas snorkeling, yang katanya Pantai Nemberala
adalah spot terbaik melihat keindahan bawah laut.
Senja pun tiba, yang ditangkap
mata ini rasanya sulit digambarkan, saat bulatnya matahari perlahan turun
kemudian menghilang dan hanya menyisakan warna orange yang menghangatkan hati. Salah satu golden hour terbaik dalam hidup
saya.
Lamanya perjalanan ke Pantai
Nemberala membuat saya tak ingin cepat-cepat kembali ke hotel, rugi rasanya. Meskipun saya sudah melihat hal yang ingin
saya lihat. Saya memilih mengejar babi di antara pohon kelapa yang tersusun
rapih, mungkin kalian akan tertawa jika melihat betapa konyolnya saya berlari
saat itu. Semakin kencang saya mengejar
semakin kencang pula babi itu berlari dengan perutnya yang seperti balon, haha.
Hingga akhirnya saya lelah, bahasa lain dari menyerah, yang kemudian
bertemu dengan Bapak Yusuf dan adiknya yang merupakan petani rumput laut yang ‘nampaknya’
sedang sibuk membereskan hasil panennya. Tanpa sadar, saya banyak bertanya, SKSD sekali saya kalau diingat, rasa
keingintahuan yang lebih besar dari biasanya.
“Nanti hasilnya akan dikirim ke Kupang, besok pagi, lalu dikirim dan diolah
lagi di Surabaya”, kata Pak Yusuf. Rumput laut menjadi salah sumber daya
yang dimiliki Rote, potensinya pernah menjadi yang luar biasa sebelum akhirnya menurun
akibat pencemaran laut. “Dulu
besar-besar, sekarang kecil. Tapi ya kami tetap berusaha dan terus melakukan
pengiriman”, tambah Pak Yusuf.
Setelah dikeringkan, rumput laut
dikumpulkan dan ditimbang, kemudian dikirim ke Kupang terlebih dahulu sebelum
ke Surabaya untuk diolah. Pengirimannya sendiri melalui kapal barang yang ada
di Pulabuhan Pantai Baru Rotendao menuju Pelabuhan Bolok di Kupang. Saya
langsung berpikir jernih, betapa bermanfaatnya transportasi laut dan
pengolaannya selama ini, yang secara langsung juga menghidupkan dan menumbuhkan
ekonomi masyarakat.
Ngebayangin kalau tiap hari bisa lihat pemandangan ini... |
Ke Mana Aja Kalau Main di Rote?
1. Mercusuar Pelabuhan Pulau
Ba’a
Hari selanjutnya. Sedari awal, Mercusuar Pelabuhan Pulau Ba’a sudah menarik
perhatian saya. Lokasinya pun dekat sekali dengan hotel saya meginap, jadi tak
ada alasan untuk saya melewatkan tempat tersebut, setidaknya memberanikan dulu
untuk bertanya boleh dimasuki atau tidak.
Boleh masuk ke sini, asal minta
izin. Seperti yang saya duga. Pagi
itu saya bertemu dengan Pak Jahman Rahman Koli selaku penjaga Menara Suar Ba’a
yang membimbing saya dan yang lain untuk masuk dan menjelajah hingga ke atas. 10 lantai dengan 24 anak tangga di tiap
lantainya, waw. Mulai dari excited
saat di bawah, pas di lantai 5 kelelahan, dan gemetar saat sampai di atas.
2 tahun sudah Pak Rahman bertugas
di Menara Suara Ba’a. Tugasnya, antara lain menyalahkan lampu suar yang berguna
memberikan sign keselamatan pada
pelayaran yang ada di sekitaran laut Pulau Rote. Dari atas, saya bisa melihat
betapa indahnya Pulau Rote, gradasi laut biru, hijaunya pepohonan, hingga
rumah-rumah warga yang membuat saya semakin yakin nusantara itu luas sekali,
dan saya ada di ujung selatannya.
2. Bukit Batu Termanu
Setelah dari Menara Suar, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke
Pantai Batu Termanu. “Dekat, sekitar 30 menit”, kata guide kami. Saya
meyakinkan diri untuk kembali percaya, dan bersiap untuk perjalanan panjang
dengan view Rote yang eksotis di siang hari.
Pantai Batu Termanu menyapa kami
dengan kesunyian. Wajar saja, matahari
masih terik, sejauh mata memandang hanya mobil kami yang parkir di sana.
Dan kami memutuskan untuk tidak main ke daerah pantainya, tapi ke sebelahnya
yaitu Bukit Batu Termanu. Masih dalam
satu lokasi, tinggal jalan berlawanan arah saja.
Saya semakin merasakan betapa
eksotisnya Indonesia bagian timur di bukit ini, tumbuhan kering menjadi begitu
indah, pemanis yang pas di antara perbukitan. Ada jalan setapak, yang nampaknya
sering dilalui motor, dan membuat saya mengikuti jalan tersebut yang mengarah
ke atas bukit. Lelah dan panas itu pasti,
tapi untungnya angin tak pernah absen, dan benar-benar terbayarkan ketika
sampai di atas.
Bukit Batu Termanu konon katanya
tercipta dari dua buah batu yang jatuh dari langit. Saya baca di google demikian, namun kata orang lokal yang saya temui di
sana, Batu Termanu sebenarnya ada tiga, dua di sekitar bukit dan satu lagi di
pantai lainnya (saya lupa pantai apa). Untuk di bukit yang saya datangi,
batu pertama yang tinggi sekali merupakan perwujudan batu pria, namanya Batu
Suelai. Dan yang wanitanya ada di lepas pantai, namanya Batu Hun. Bisa
terlihat jika kita naik sampai bukit paling atas.
3. Pantai Tiang Bendera
Tak terasa, main ke Bukit Batu Termanu benar-benar menghabiskan banyak
waktu, baru beberapa langkah saya selalu berhenti untuk foto padahal backgroundnya
sama saja, haha. Sore pun kembali tiba. Dan yang tak boleh dilewatkan
adalah sunset-an di pinggir pantai,
kali ini bukan Pantai Nemberala tapi Pantai Tiang Bendera yang ternyata tak kalah
mengagumkan.
Alasan mengapa dinamakan Pantai
Tiang Bendera langsung saya dapatkan saat sampai di lokasi. Bukan dari nama
desa melainkan dari sebuah tugu batu beton yang ada di atas karang besar,
terliht bendera berkibar, saya bangga sekali. Padahal biasanya pantai dan lokasi wisata di Rote dinamakan berdasarkan
desa tempat wisata tersebut berada. Bisa dibilang, pantai ini menjadi saksi
bisu perjuangan penduduk Rote melawan penjajahan Belanda.
Kita bisa menaiki karang untuk
melihat secara dekat tugu tersebut, tapi harus berhati-hati karena karangnya
cukup tajam, dan saya pribadi mengurungkan niat karena hal itu. Amat disayangkan. Lagi pula, melihat
matahari terbenam dengan bendera berkibar juga hal yang sangat menakjubkan.
Bandara Paling Selatan Indonesia!
Selesai sudah perjalan saya di Rote. Dan sebagai pelengkap, saya
memilih tranportasi udara untuk kembali ke Kupang, yaitu melalui Bandara D.C
Saudale, yang punya sejarah mengagumkan, yang semakin membuat saya yakin
persatuan Indonesia adalah kunci keberhasilan bangsa.
Rasanya tak sabar untuk segera
sampai di Bandara D.C Saudale. Selain
bandara ini merupakan bandara paling selatan Indonesia, ini juga pertama
kalinya saya naik pesawat kecil, hehe. Untuk ke bandara kita bisa
menggunakan mobil sewaan atau ojek. Oh
iya, untuk jam penerbangan dan pemesanan tiket pesawat kita bisa langsung
mengeceknya di aplikasi-aplikasi pemesanan online.
D.C Saudale, adalah kepanjangan
dari David Constantjin Saudale yang merupakan nama pembantu bupati pertama
Rote. Dengan semangatnya, ia berhasil menjadi pelopor dan mengajak masyarakat
sekitar untuk bersatu membangun sebuah landasan udara agar pengiriman makanan
dan transportasi dari dan ke Kupang semakin lancar. Hal ini ia lakukan kerena saat itu transportasi laut tak selalu bisa
diandalkan, terlebih ketika gelombang tinggi, dan membuat pelayaran kadang
nyasar.
Suasanan bandara cukup ramai
mengingat hanya ada dua kali penerbangan dalam sehari, pagi dan siang. Durasi
penerbangannya pun sangat singkat, tak sampai 30 menit dari Rote ke Kupang. Tapi karena ini first time buat saya naik
pesawat kecil, deg-degannya minta ampun, apalagi saya duduk di dekat jendela
dan melihat jelas pergerakan baling-baling.
Dengan adanya transportasi udara
melalui Bandara D.C Saudale, konektifitas Rote-Kupang semakin beragam,
setidaknya ada pilihan lain jika gelombang laut sedang tak bersahabat, dan
tentunya lebih efektif dan efisien untuk keadaan tertentu. Perjalanan saya kali
ini benar-benar mengajarkan saya betapa pentingnya transportasi sebagai
penyambung nusantara, dan setelah tersambung, tanpa sadar kita sebagai
penggunanya ikut merajut bangsa Indonesia dengan saling mengenal dan tahu
kondisi Indonesia saat ini.
Ke mana lagi kita? |
No comments