Sering kali percakapan kami
berakhir dengan saling ejek, yang kemudian lanjut menertawakan diri
masing-masing. Saya berutung punya teman
seperti itu, perbedaan pendapat yang justru membuat kami saling mengerti,
bahkan dalam segi pandangan politik yang semakin panas dan berpotensi bikin
kami berbincang memperlihatkan urat di leher. Itu sudah biasa, kalau kata
beberapa orang. “Musim di mana kita
sebagai masyarakat dituntut untuk menentukan hak pilih berdasarakan hati nurani
dengan ujian di depannya”.
Pemilihan umum, atau yang kita kenal PEMILU. Dari saya SD, hal tersebut yang selalu dijadikan contoh nyata oleh guru saya
ketika membicarakan demokrasi di negeri ini, sampai saya dulu pernah ingin sekali ikut nyoblos, tapi tidak bisa
karena belum cukup umur, dan memberikan warna sendiri pada kelingking. Sekarang saya sudah bisa nyoblos dengan
bebas. Sekilas bahagia, padahal cukup berat beban yang ditanggung. Apalagi, belakangan ini nyoblos menjadi bukan sekedar nyoblos.
Semakin dewasa, saya sadar harus
menetukan pilihan berdasarkan baik dan buruknya suatu tindakan, yang sebenarnya
berujung pada pemikiran kita sendiri. Saat ini, bahayanya adalah terlalu banyak
informasi yang bisa masuk ke dunia pribadi kita, salah satunya ketika beribadah,
hal yang sejatinya hanya kita dan tuhan yang berhubungan. Kalau ibadah di rumah, sendirian, mungkin akan lebih tenang dan bisa
khusyuk dalam menemukan diri sendiri, namun kita juga butuh bersosialisasi
dalam hal keagamaan di luar rumah, mengaji atau sholat jumat bagi pria.
Ini yang riskan! Yang kadang membuat
saya pribadi ingin cepat-cepat salam, dan pulang. Dari dulu, saya selalu tidak suka ketika ada penceramah membicarakn
tentang politik, lebih baik membicarakan tentang hal-hal kejam yang ada di
neraka, yang seketika membuat saya sadar. Saya tak tahu bagaimana harus
protes, selain tidak menguasai, anak muda kadang dipandang sebelah mata urusan
agama, dan lebih memilih untuk memejamkan mata sambil menahan kantuk.
Saya harus berpikir positif, mungkin si penceramah kurang mengetahui
peraturan yang berlaku soal membicarakan politik di lingkungan rumah ibadah.
Banyak kepala, banyak pemikiran, dan
banyak pilihan yang berbeda-beda sehingga membicarakan politik di tempat ibadah
adalah hal yang bisa memicu perdebatan dan rusaknya silaturahmi antar sesama
umat.
“Saya mengutip dari ucapan
Menteri Agama. Boleh saja tempat ibadah dijadikan tempat politik, namun politik yg bersifat subtanstif, artinya berbicara tentang kenegaraan, tentang bangsa, tidak dalam tatanan politik praktis",
kata Kombes Pol Hengki Hariyadi selaku Kapolres Jakarta Barat. Pengetahuan baru
untuk saya ketika main ke Jakarta Barat beberapa waktu lalu. Ada program yang menurut saya wajib ditiru
oleh wilayah lainnya sebagai pengingat. Saya rasa ini support system yang baik.
Kombes Pol Hengki Hariyadi - Kapolres Jakarta Barat |
1000 ‘Pengingat’ di Rumah Ibadah!
"Mungkin ini pertama terjadi di Indonesia, dengan judul Pemasangan
1000 sepanduk di rumah ibadah dalam menciptakan kerukunan umut bergama", lanjut
Pak Kapolres Jakarta Barat. 1000 spanduk
di rumah ibadah, itu programnya, yang bisa jadikan ‘pengingat’ ketika
seorang pemuka agama, atau penceramah ingin memberikan wejangan baiknya kepada
masyarakat.
Menurut ketua panitia pelaksana, yang
sekligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Bapak KH. Tatang M
Firdaus, pemasangan spanduk ini lahir dari kekhawatiran warga jakarta barat
khususnya, dan DKI pada umumnya terkait Pemilu 2019 yang sudah di depan mata. Ingat! 17 April 2019. “Jangan sampai pada pesta demokrasi kali ini
silaturahmi dan persahabatn kita terganggu”, tegasnya.
Selain sebagai ‘pengingat’,
pemasangan spanduk yang nantinya akan diberlakukan di 860 Masjid, 237 Gereja, 1
Pura, dab 85 Vihara, di Jakarta barat ini juga merupakan kesepakatan untuk menolak
penyebaran isu hoax, SARA, dan radikalisme. Dan bisa bilang, pemasangan ini
termasuk dalam program pengamanan norma-norma hukum bersosial, di mana
menjadikan tempat ibadah sesuai fungsinya.
“Kalau ada orang yang berprilaku demikian, yang menyebabkan hoax, fitnah sana-sini, maka dia adalah orang yang tak beriman, orang yang akan merusak demokrasi, dan tidak mencintai tanah airnya. Hal seperti
itu sejatinya dapat menggangu dan mencerai- berai nilai demokrasi”. Tutupnya.
Sesuai Undang-Undah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 ayat 1
poin h, Pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menggunakan fasilitas
pemerintahan, tempat ibadah, lembaga pendididkan untuk berkampanye. Dan jika ditemukan, tentu akan ada sanksi
yang memberatkan. Harapan semua orang, tentunya pesta demokrasi pada 17 April
2019 mendatang berjalan dengan aman,
lancar, tertib serta tidak
mencerai-berai persahabatan dan silaturahmi kita. Setuju?
Soal hoax kita harus satu suara bahwa itu tak layak dilakukan orang yang beragama. Kalau gw sih dukung soal itu karena jika kegiatan negatif seperti itu didiamkan akan terjadi perpecahan antar umat
ReplyDeleteSemangat. Semoga Indonesia jaya....
ReplyDeleteSaya setuju dan mendukung pernyataan Pak Ketua FKUB Jakarta Barat :
ReplyDelete"Kalau ada orang yang berprilaku demikian, yang menyebabkan hoax, fitnah sana-sini, maka dia adalah orang yang tak beriman, orang yang akan merusak demokrasi, dan tidak mencintai tanah airnya. Hal seperti itu sejatinya dapat menggangu dan mencerai- berai nilai demokrasi”.