Enggak perlu waktu banyak. Saya rasa berada di sini 2 jam saja sudah
cukup, kecuali jika kita ingin menikmati ketiga rangkaian acaranya, dan menutup
akhir pekan berfaedah dengan sedikit keringat karena gerak tubuh yang
berlebihan. Tapi bodoh jika tak mengikuti acara ini hingga selesai, saya termasuk, karena ada janji lain
yang harus saya tepati sehingga menyelesaikan acara ini lebih dahulu. Mungkin,
tahun depan saya akan hadir kembali dan mengikuti hingga selesai. Can’t wait!
Minggu, 27 Januari 2019 akhirnya tiba. Hari itu datang, meskipun untuk saya pribadi baru dimulai jam 10 pagi,
saat saya membuka mata dan langsung bergegas bersih-bersih. Sekitar jam 11
saya sampai di lokasi, Loop Station Jakarta, yang berada dekat Terminal Blok M.
Pemilihan lokasi yang cukup strategis untuk kita yang menggunakan transportasi
umum, menikmati lancarnya jalanan Ibu Kota di akhir pekan. Tapi tergantung dari arah mana sih, hehe.
Siang itu cukup ramai, saat saya tiba, dengan panggung yang
sudah terbentuk, dan beberapa orang mengantri untuk registrasi masuk. Acara ini GRATIS! Siapa saja boleh
datang. Sesi worksop sedang berlangsung,
ini keramaian yang saya intip dari
jendela di luar tadi. Sebelum membicarakan keseruan saya di acara ini, saya
ingin ‘berkomentar’, sedikit, soal rundown acara yang saya rasa kurang tepat penyusunannya.
Singkat cerita, hampir 4 jam saya
di sini, sesekali saya buat diri saya sibuk dengan bertanya dan mondar-mandir
tak jelas. Kenapa bisa terjadi? Saya bosan! Sangat bosan dan kedinginan. Selesai
break sholat zuhur saya sadar rasa
bosan mengikuti saya siang itu, sharing session yang hanya memberikan jeda 10
menit untuk pesertanya bergerak bebas, jika kebablasan resikonya tertinggal
materi yang disampaiakn para narsum yang saya rasa cukup menarik.
Kita semua punya hak memilih. Itu yang saya rasakan ketika datang
ke Jakarta Humanity Festival 2019 ini. Memang ruangannya tak terlalu besar, hanya
berjarak beberapa langkah dari tempat sharing
ke pameran, kemudian untuk menikmati musik hanya tinggal melengos keluar. Tapi sayangnya, susunan acaranya terlalu
datar. Menghabiskan semua sesi ‘ngobrol’ sekaligus, membiarkan pameran foto
sebagai ‘pajangan’ di lintasan saja, dan hiburan dijadikan penutup. Tapi sekali lagi, hidup itu pilihan, dan
saya memilih cara ini untuk menikmati Jakhumfest 2019!
JakHumFest 2019: “Mulai Dari Kita Sendiri”
Ambil positifnya saja, datang
agak siangan membuat saya bisa langsung ikutan Workshop Zero Waste bersama Kak
Ratrie E Rahayu. Awalan yang menyenangkan, bangun tidur langsung disuruh
berkreatifitas, doodling, membiarkan
pergelangan tangan merealisasikan apa yang saya imajinasikan siang itu.
“Peduli bisa ikut jadi volunter, tapi bisa juga dari diri kita sendiri
untuk menjaga lingkungan dengan meminimalisir sedotan, menggunakan tubler, gelas
yang enggak gampang ancur kena air, dan gelas tersebut bisa digunakan juga
untuk tempat pensil atau jadi pot tanaman”, ucap Kak Ratrie.
Saya pernah menulis tentang hal
ini, atau setidaknya cukup menjurus,
ada di artikel Satu
Hari Untuk Perubahan, jika kalian ingin membacanya. Workshop yang
bertujuan meningkatkan awareness
seperti ini adalah pilihan yang tepat dari Dompet Dhuafa selaku penyelenggara,
sebagai pembuka rangkaian kegiatan, workshop zero waste ini terbilang berhasil,
menyenangkan sekali.
Humanity Talk, ini juga sebuah gagasan dan konsep obrolan yang menarik
dari Jakarta Humanity Festival 2019, yang kemudian dilanjutkan dengan sharing session lagi, dan lanjut (lagi)
Humanity Talk Session 2. Saya tak bohong, kedua tema yang diangkat dalam
Humanity Talk sangat menarik, pertama tentang Disaster 4.0 dan kedua mengangkat
tema “Volunteer is Me”, pembicaranya pun (sebenarnya) sulit untuk dilewatkan,
langsung dari BNPB, petinggi Kumparan, dan orang-orang yang turun langsung
dalam hal volunter. Yang pasti personal
touchnya lebih dapet.
Oh iya, saya belum cerita soal
Jakarta Humanity Festival 2019 ini tentang apa. Jadi, Jakarta Humanity Festival
ini adalah sebuah event yang dibuat oleh Dompet Dhuafa untuk mengajak
masyarakat (khususnya millenail, jika melihat konsep acaranya) untuk melihat
lebih dekat lagi beberapa bencana yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Di
mana Dompet Dhuafa punya banyak cerita, dan ingin membagikannya dengan cara
yang ‘kekinian’, seperti workshop, konser musik, dan pameran foto-foto yang
semua hadir dalam satu acara, yaitu Jakarta Humanity Festival 2019.
Saya sedikit beruntung, sebelum ‘menyerah’,
saya sempat mendapatkan ilmu dari Pak Agus Wibowo dari BNPB tentang bencana. Faktanya, sepanjang 2018 ada sekitar 2500
bencaan yang terjadi di Indonesia. Dan soal bencana sendiri, ada 2
pemikiran, pertama pandangan bencana adalah takdir, dan kedua pandangan bencana
yang sejatinya bisa kita hindari. Caranya? Dengan budaya sadar bencana yang sedang dikampanyekan BNPB saat ini, yaitu
kenali bahayanya dengan sadar akan di mana kita berada, dan tahu bahaya yang
mungin timbul, semua ‘kemungkinan’ itu bisa kita cek melalui aplikasi android inaRISK personal.
Setelah mengenal bahaya yang
mungkin akan terjadi di daerah kita berada, selanjutnya adalah Kurangi
resikonya, artinya kita bis amemilih untuk pergi atau tetap tinggal di daerah
tersebut dengan catatan harus peka terhadap tanda-tanda alam sekitar, serta
tahu jalur evakuasi di mana. Terakhir adalah selalu siap siaga karena pada
dasarnya bencana bisa hadir di mana saja. Mungkin kalian bisa belajar dari
cerita saya saat ikut Hari
Kesiapsiagaan Nasional beberapa waktu lalu.
JakHumFest 2019: Di Balik Bencana!
Akhirnya saya bertemu dengan Mas
Zul, fotografer Dompet Dhuafa yang dikirim langsung ke lokasi bencana. Salah
satu dari 6 orang di balik terciptanya foto-foto di pameran ini. Jadi, Jakarta Humanity
Festival 2019 dibagi menjadi 3 bagian, pertama Humanity Talk (worksop dan sharing session yang sudah saya
ceritakan tadi), Humanity Exposure (Pameran
yang sedang saya ceritakan ini), dan Sound of Humanity (yang nampaknya tak bisa saya ceritakan
karena saya sudah meninggalkan lokasi).
Obrolan saya dan Mas Zul diawali
dari bencana tanah longsor di Sukabumi. Bencana yang terjadi di Dusun Cimapag,
Kecamatan Cisorok, Kabupaten Sukabumi menjadi medan yang paling berat baginya
bertugas. “Kaki saya langsung masuk ke
tanah, segini”, ujarnya sambil menunjuk bagian atas dengkul. Sambil melihat
ke bawah saya juga melirik beberapa perabotan rumah yang dibawa khusus untuk
pameran ini. Dompet Dhuafa meminjamnya,
dan setelah pameran akan langsung dikembalikan.
Semakin sedih, pameran ini
semakin mengajak emosi saya untuk berkeliling. Foto seorang nenek terlihat,
saya jadi ingat nenek saya yang meninggalkan saya belum lama ini, ditambah
cerita Mas Zul tentang seorang nenek yang ditemukan masih dalam posisi sedang
jongkok memasak (pose masak jaman dulu yang pakai tungku), mayat nenek yang
sudah berhari-hari, dan akhirnya bisa ditemukan sebelum lokasi ditutup untuk
pencarian.
“Ini tantangan jurnalis foto di
lapangan, harus melihat hal-hal yang kurang manusiawi”, lanjutnya,
sambil kami berjalan melihat foto-foto lainnya. Sampailah kami di Anyer, kisah
pasar malam yang membuat saya tak ingin mempermainkan kepercayaan orang. “Ada
kisah foto tsunami di Anyer, Pantai Pesisir Ujung Kulon, kejadiaanya di sini
ada pasar malem, kejadiannya kan malam minggu, tsunami tiba-tiba datang,
orang-orang tak terlalu percaya karena di sana sering sekali orang teriak
“pasang-pasang”, dan banyak yang merasa biasa saja, tapi ternyata pasang kali
itu beneran”, Mas Zul bercerita sambil menujuk sebuah foto.
“Ada cerita seru lagi, Mas”,
lanjutnya. Kalian tahu kan pasti seru
yang dimaksud seperti apa, “Ketika saya datang sirine terdengar,
ternyata itu sirine entah ambulan entah apa, yang membuat semua orang bergegas
menjauh dari tepi pantai, 30 kemudian baru dapat kabar kalau sirine tersebut
bukan bencana, namun tanda lain. Kebayangkan betapa parnonya kami saat itu”.
Tak bohong, saya tertawa saat itu, sambil membayangkan saya juga akan lari
secepat-cepatnya jika ada di lokasi. Tertawa saya langsung terhenti ketika
beliau melanjutkan cerita, “Di sini saya paling banyak melihat mayat”.
JakHumFest 2019: Hikmah Bencana?
Saya langsung berpindah ke
Pacitan, berganti komando, kali ini bersama dengan Mas Dhika yang juga
fotografer di lokasi kejadian bencana. Kami bersama memundurkan waktu, Banjir
Pacitan 2017 menjadi awal perbincangan kami. “Kejadian, malamnya kita langsung berangkat via darat dengan jalan yang
sudah retak-retak, dan satu jam menjelang lokasi macetnya panjang dan sebelah
sini longsor, pacitan-ponorogo terhambat, lumpuh”, Mas Dika memulai cerita
sambil menunjuk foto hasil jepretannya.
“Ini, ada seorang bapak yang rela menyebrangi jembatan rusak, jembatan
yang hancur parah. Jembatan ini akses untuk mereka nyebrang agar tidak memutar,
jika memutar sejauh 8 KM”, katanya. Saya
menanggapi dengan ekspresi bengong, saya berharap enggak ada yang candid kala
itu, jelek banget, malu. “Di seberangnya ada satu pemukiman yang kalau mau
ke kota harus lewat jembatan ini”, lanjutnya.
Cerita berlanjut ke Selat Sunda. “itu panggungnya masih terlihat”, saya gagal fokus sambil menunjuk sebuah
foto, dan melanjutkan dengan komentar “Seventeen”. Kalian tahukan apa yang saya maksud. Mas Dhika kembali bercerita, “Baru pertama nyampe lampung, sekitar jam 5
atau 6 kami menatap Krakatau, dengan cuaca di sekitaran Krakatau yang mendung
dan petir ini muncul”, jari langsung menunjuk foto dengan petir yang sangat
terlihat jelas. Foto terepic, yang membuat saya langsung merinding saat
melihatnya.
“Hari ketiga di sana. Kami
bersama BASARNAS, TNI AL dan BNPB, naik kapal perang menuju Pulau Sembuku untuk
evakuasi dan mengantar logistik, mengapa menganter logistik? karena sebagian
warga sana enggak amu dievakuasi, mereka lebih memilih jaga kebun dan
peternakan”. Saya masih enggak habis pikir bagaimana mereka masih yakin
untuk stay di rumahnya, tapi ketika
tahu alasannya, saya berhenti berkomentar. “Mereka lebih memilih di sana, yakin bencana
sudah selesai, karena jika mereka pergi dan bencana tidak terjadi, mereka
justru rugi karena banyak barang yang hilang”. Begitulah alasannya.
“Ada lagi nih, Mas”, Mas
Dhika semakin senang bercerita. Ia menunjuk satu foto, terlihat banyak yang
melakukan penghormatan. “Saat itu, kami
naik kapal perang, dan sebelum berangkat para komandan, TNI, dan semuanya
melakukan penghormatan itu membuat kami berpikir saya kayak mau pisah”,
ungkapnya sambil tertawa dan mengelus dada. “Di
tambah cuaca di lampung saat itu buruk, gelombang masih tinggi, bahkan cipratan
air sampai atas, dengan suara updatetan Krakatau yang terus-menerus membuat
jantung semakin berdebar”, tutupnya.
Sekitar 3 atau 4 jam perjalanan
akhirnya Mas Dhika dan tim lainnya sampai, tapi ternyata dermaga rusak, dan
kami tak bisa menepi, akhirnya mereka menggunakan kapal nelayan untuk evakuasi,
di situ Mas Dhika melihat orang-orang yang ingin dievakuasi menangis, teriak,
dan bersyukur, campur aduk, saat pertolongan datang. Sebuah perasaan yang sulit diungkapkan oleh kata-kata, saya yakin itu.
Kisah lainnya yang ia abadikan
dalam sebuah foto adalah bencana di Lombok. Mengawali ceritanya dengan potret
anak-anak yang sedang menbgumpulkan puing bangunan, kemudian saat ia jalan, ia
melihat ada anak kecil yang membuat rumah dari kardus, “mereka seakan ingin
menyampaikan sesuatu, itu yang saya rasakan”, kata Mas Dhika. Mereka yakin bisa pulih.
“Ini bencana yang wah banget,
likuefaksi”, dengan intonasi sedikit melow, Dhika Prabowo kembali
bercerita. Saya yakin, ia juga tak bisa
menolak untuk kembali menyelami kisah bencana itu. “Modelnya kayak gempa, tapi lebih
acak-acakan. Mereka cerita, saat itu jalan seperti lumpur meledak-meledak,
aspal pada ambles”, katanya.
Hal yang paling sulit dilupakan
Mas Dhika adalah ketika mengenal Pak Wahid, warga Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi,
yang rumahnya hancur. “Ketika kejadian,
ia sedang bersiap untuk pergi sholat magrib, tapi tiba-tiba mati lampu,
dan gempa. Ia terjebak di dalam rumah, dan
berusaha keluar mellaui celah yang ada. Sampailah ia di atap rumahnya yang saat
itu seperti tenggelam, kemudian Pak Wahid azan di atas genteng rumahnya,
selesai azan ia pingsan dan pasrah”.
Tak lama kemudian, ada seseorang
memanggil dirinya, singkat cerita akhirnya ia tertolong. Cerita menariknya, ternyata
3 hari sebelum kejadian, anaknya yang bersekolah di pesantren di Pulau Jawa
sakit. Dan harus ada yang jenguk, sehingga istrinya yang berangkat. Kemudian
Pak Wahid berpikir, ini adalah jalan dari ALLAh SWT untuk menyelematkan
keluarganya, karena hampir semua tetangganya yang menjadi korban adalah para
istri yang ada di dalam rumah. Ia bersyukur istrinya selamat.
Ditemani hujan saya masih sibuk
melihat foto-foto bencana yang dipamerkan, kembali bertanya ketika bingung, dan
duduk jika lelah, sambil menunggu hujan reda. Humanity Talk masih berlangsung
ketika saya sibuk mendengarkan cerita dari Mas Dzul dan Mas Dhika. Mungkin saya
kehilangan ilmu, tapi mendapatkan cerita. Seperti itulah, hidup itu sejatinya soal
memilih. Oh iya, btw jika tak ada
bencana di 2019 (Aamiin), Jakarta Humanity Festival 2020 tetap ada kan?
No comments