Dia seperti mengajak saya berbincang, padahal saya saksi dari
pembunuhan yang ia lakukan. Mimik
mukanya bukan sekedar pemuas iblis yang merasukinya, sorot matanya tajam seakan
bertanya “salah saya?”, insting dan intuisinya sulit saya bedakan meskipun pada akhirnya saya hanya tahu satu hal
pasti, dia wanita tangguh. Lewat empat babak, Marlina sukses membuat saya
menjadi bayangannya. Yang ia lakukan lebih dari sekedar yang ia bisa, dengan jelas ia mampu membedakan mana
kodrat dan gender yang saat ini sering menjadi buah bibir di kota-kota
besar. Tapi Marlina, bersuara lantang jauh dari timur Indonesia, Sumba, untuk
sebuah kesetaraan.
Bicara dengan Ibu Ratna Susianawati, SH.MH yang merupakan Asisten Deputi
Kesetaraan Gender Bidang Infrastruktur & Lingkungan Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) ibarat berhadapan dengan sosok wanita
yang menghembuskan angin ribut dari kepalanya. Bicaranya cepat dan merusak akal
sehat saya siang itu. Tak banyak yang saya tahu tentang dirinya, yang jelas ia
sangat mengerti apa yang diucapkannya, “Kodrat
dan Gender itu berbeda!” tegasnya. Saya
tahu apa? Bisa dibilang saya tak memikirkan hal itu, dan itu kesalahannya.
Menjadi minoritas di acara
Netizen Gathering 2017 yang diadakan oleh Serempak, Indonesia Woman Information
Technology Awarness (IWITA) dan KPP-PA bisa dibilang keuntungan tersendiri
untuk saya pribadi, cara pandang saya jadi berbeda ketika sebuah kasus dibedah,
yang awalnya ‘penonton’ menjadi ‘pemikir’, bahkan tema ‘Menciptakan Konten Kreatif Berbasis Kesetaraan Gender, Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak’ menjadi asik untuk diikuti seorang pria.
Sebelum melanjutkan berbagai pandangan, mari kita samakan persepsi
terlebih dahulu tentang kodrat dan gender! Kalian tau apa bedanya?
Menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui adalah kodrat, artinya sesuatu
yang pria gak bisa melakukannya, a gift,
hanya wanita yang punya. Sedangkan gender, adalah sebuah konstruksi sosial yang
bahkan memiliki arti sangat luas tergantung dari sudut mana kita melihat hal
itu, yang jelas gender adalah sebuah perlakuan, kondisi yang terbungkus oleh
norma.
Tetapi ada persoalan besar tentang gender, adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ‘gender’ itu sendiri. Gender bukan hanya tentang perempuan yang meminta kesetaraan melulu, bicara kesetaraan gender harus melihat terminologinya juga, dan acara ini membuka mata saya untuk tahu kalau gender bukan hanya laki-laku dan perempuan saja, juga bagian dari berbagi peran hingga relasi antara laki-laki dan perempuan, juga kelompok anak, disabilitas hingga lansia, bisa dibilang seperti ‘pemain’ di dunia gitu.
Tetapi ada persoalan besar tentang gender, adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ‘gender’ itu sendiri. Gender bukan hanya tentang perempuan yang meminta kesetaraan melulu, bicara kesetaraan gender harus melihat terminologinya juga, dan acara ini membuka mata saya untuk tahu kalau gender bukan hanya laki-laku dan perempuan saja, juga bagian dari berbagi peran hingga relasi antara laki-laki dan perempuan, juga kelompok anak, disabilitas hingga lansia, bisa dibilang seperti ‘pemain’ di dunia gitu.
Di balik sebuah konten, pasti ada
sang pembuatnya, tak peduli wanita atau pria tetap saja ketika pembaca suka
maka konten tersebut akan nikmat untuk dibaca. Tapi sebuah konten, tentu
memiliki sudt pandang tersendiri, ini yang sebenarnya harus diperhatikan. Mari
ambil contoh yang sedikit ‘hot’, kalian tahu dong kasus labrak-labrakan artis
(yang saya gak tau dia karyanya yang mana) JD ‘dinilai’ merebut suami orang? Nah,
secara tak sadar semua pemberitaan hanyalah tentang si JD nya saja, padahal
ketika terjadi ‘perebutan’ tersebut banyak pemainnya, termasuk sang pria. Mulai
dari sebuah konten berita saja jelas terlihat kesetaraan gender tak digubris
sama sekali.
Sebenarnya kasus tersebut tak
masuk dalam job KPP-PA, urusan rumah tangga yang jadi konsumsi umum. Sebagai salah
satu Kementrian dengan mandat yang spesifik, bisa dibilang KPP-PA adalah kementrian
tertua, paling lama dan eksis hampir 39 tahun, meskipun namanya sering
berubah-ubah namun tugas dan fungsinya sama. “Kalau bicara harus sesuai data
dan fakta, itu adalah kekuatan media komunikasi KPP-PA” kata Ibu Ratna, oleh karena itu mereka sering melakukan survei dan terjun langsung ke lapangan, dan tentu
yang diurusi adalah Pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang lebih condong ke
wanita dan anak, sesuai namanya. Konten
yang beredar saat ini hanyalah isu yang disukai bukan yang bermanfaat, padahal kekerasan
wanita dan anak sangat banyak terjadi di Indonesia, jadi berita tentang
kekerasan bermanfaat? Jelas, menjadi sebuah pembelajaran dan pengambilan tindakan
yang seharusnya dilakukan.
Kalian tahu film Posesif? Salah satu
film yang saya anggap sebagai film dengan cerita yang berani mengangkat sebuah
fakta, bahkan kasus kekerasan terhadap perempuan sudah dimulai sejak pacaran.
Saya rasa film posesif berhasil membuat fungsi film berada kembali di jalurnya,
sosok wanita dalam film ini sadar bahwa dirinya bisa merubah sifat kekasihnya
yang kasar kepadanya, hanya dia yang bisa katanya. Salah? Mungkin! Wanita punya
pemikirannya sendiri, tapi yang salah adalah ketika kita tak mengetahui hal
tersebut nyata dan ada di sekitar kita, bahkan tak peduli.
Ratna Susianawati, SH.MH |
Kita yang tahu bisa apa? KPP-PA saat ini sudah memiliki unit pengaduan
masyarakat untuk tindak kekerasan yang kita ketahui di nomor 082125751234.
Ini adalah sebuah program nyata dari kementrian untuk membuktikan rasa empati
kita masih ada, dan tumbuh di masa seperti sekarang. Kesetaraan gender yang
disuarakan wanita saat ini bukanlah persamaan kekuatan ataupun kedudukan dengan
laki-laki, tapi persamaan sebuah kesempatan untuk melangkah sesuai norma. Dan
bagi pemerintah, kesetaraan gender tidak bisa dikerjakan oleh satu kementrian
saja, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan hadirnya unit pengaduan
tadi, KPP-PA semakin yakin melalui 3 Ends visinya akan tercapai, yang pertama
mereka ingin meminimalisir kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kedua menurunkan
perdagangan manusia, dan ketiga dari segi ekonomi.
Ayo Menjadi Netizen Cerdas!
Bisa dibilang suasana seketika
berubah menjadi dingin, Pak Maman Suherman berhasil meredam angin ribut di awal
tadi, “Kita harus bisa memastikan anak laki-laki dan perempuan harus sudah
memperoleh hak yang sama sejak dalam kandungan” sebuah ucapan yang ia
ambil dari tweet Ibu Sri Mulyani, “Sebuah perspekif gender yang dahsyat sekali
menurut saya” ujarnya.
Menurut catatan komnas perempuan
tahun 2016, Di Indonesia masih ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan, 245.548 kasus diantaranya kekerasan terhadap istri
berujung perceraian, KDRT. 5.784 kekerasan terhadap istri, dan kekerasan dalam
pacaran sebanyak 2.171, seperti kasus dalam film Posesif. Hal ini justru membuktikan
bahwa kekerasan terjadi di ruang private person, dan mereka yang ada di dalamnya
‘korban dadakan’ ketika berita mereka masuk di dunia maya. Dan kembali, yang
terekspose pastinya wanita, lagi. Siapa yang salah? Semua yang terlibat dan
tak mau bersuara!
Sebenarnya ada pilihan untuk masyarakat yang disebut ‘Netizen’. Yaitu menjadi
cerdas dengan mengingat Filter 3B, Bener gak kasus itu? Baik gak jika disebarkan?
Bermanfaat gak untuk disebarkan? Jika tidak lolos, ya jangan disebarkan!
Kenyataan?
Entah berapa helai tisu yang ia
habiskan untuk menyapu air matanya ketika mendengarkan keluhan para korban,
bercampur amarah pastinya hati Ibu Ina Rachman yang seorang Aktifis Perempuan
ketika mereka para korban justru tak ingin kasusnya itu dijadikan konsumsi
publik. Karena mereka tahu dunia akan semakin berakhir ketika publik mengetahuinya.
Jika bisa memilih, saya tak ingin
mendengarkan cerita selanjutnya. Cerita wanita yang antri untuk bertemu dengan
sang idola, dan bangga ketika mendapatkan kesempatan yang lebih lama untuk berada
di kamar bersama sang idola. “Jangan mendewakan idola” ujar Ibu Rachman.
Sosoknya menjadi sangat protektif terhadap anaknya sendiri, anak adalah
anugerah dan beliau sadar akan hal itu. Contohnya seperti ini, coba kalian search
kata ‘Anak SMA’ di google, dan jangan kaget ketika kalian melihat apa yang ada
di page one mba google. Miris. Tapi seperti itulah adanya, untuk anak
tentu harus kembali kepada orang tua, lebih tegas dalam memberikan kebebasan
apalagi yang berkaitan dengan teknologi.
Ina Rachman, SH.MH |
Martha Simanjuntak, SE, MM - Founder IWITA saat memberikan informasi tentang perkembangan Serempak hingga saat ini |
Kamu nulis apa sih Ris?
ReplyDeleteBaru kali ini aku nyimak banget. Kubaca ulang. Tulisanmu bagus ternyaya. ������... Gak heran banyak panggilan syow sana sini...
Btw aku kan blm nonton posesif. Jd g bs bayangin. Jelasin napa. Emangnye pembacamu aemua pada nonton posesif?
#malah marah marah. Wakakaka
makasihhhhhh
DeleteAku menyimak tulisanmu, Bro
ReplyDeleteMenarik.
Judulnya "Her" mengingatkanku pada film Her yang dibintangi Scarlet Johansson.. kau sudah nonton? :) #maafOOT
udahhhh, sukak bgt film itu....
DeletePerempuan. Sepertinya Kamu mulai lelah menghadapi tingkah polah perempuan wkwkwk. Tp bener bgt, kekuatan perempuan cukup dahsyat dan mampu mengobrak ngabrik dunia maya.
ReplyDeleteyap, benar sekali, aku lelah
Delete