Setelah Ranca
Upas, lokasi cerita traveling saya selanjutnya adalah Bali. Masih ingat ucapan “No wacana-wacana,
pokoknya” di cerita sebelumnya? Nah Bali ini eksekusi pertamanya. Pas banget
ada yang ngajak, dan saya langsung hunting tiket. Keberuntungan menyapa saya di perjalanan kali ini, bertemu dan
bersama orang-orang yang suka foto-foto, jadi
urusan eksis di media sosial nampaknya beres. Tapi trip ke Bali kali ini tak hanya soal liburan ataupun foto-foto,
saya juga punya misi tersendiri, yang alhamdulillah
didukung oleh travelmate saya kala
itu, yaitu menyambangi tempat-tempat
impian yang sudah sejak dulu saya inginkan. Ke mana saja?
Seperti biasa, penerbangan pagi selalu menyenangkan buat saya. Jalanan sepi, dan keadaan terminal bandara
pun tak begitu ramai, belum ada antrian di mana-mana. Entah mengapa mata
ini begitu excited kalau berpergian
via udara, berbeda dengan jalur darat yang susah sekali untuk menikmati
suasana, bawaannya ingin tidur terus.
Singkat cerita, sampailah kami di
Bali. Dan langsung memulai perjalanan ke tempat-tempat yang sudah kami tuliskan
dan tetapkan sebelumnya. Tips! Sebelum berpergian, sebaiknya kita
tuliskan dulu tempat-tempat yang kita kunjungi, beserta gaya foto dan angle
foto, biar pas di lokasi enggak bingung lagi mau foto dan gaya seperti apa.
Selama perjalana di Bali, kami
memutuskan untuk menyewa mobil dan supirnya, biar tidak ribet. Dan kami melakukan pemesanan tersebut
sebelum datang ke Bali melalui aplikasi, sehingga saat sampai di tujuan sudah
beres semua urusan, tinggal let’s go.
Yang kami sesalkan kala itu adalah, kami tidak mendapatkan supir orang Bali,
sehingga perjalanan rada kaku tanpa cerita dan logat khas warga setempat, dan
bingung untuk bertanya seputar Bali tentunya, hiks.
Sempat membuat bete, tapi tak
lama, dan tak merubah kesenangan kami untuk liburan saat itu, bahkan saya
pribadi sudah mulai melupakan percakapan yang berakhir setelah Pak Supir
menyebutkan nama dan bertanya tujuan pertam kami, selebihnya biarlah dia sibuk
dengan dunianya sendiri dan kami pun demikian. Eh, tapi bukan berarti kami tak ngajak ngobrol ya, kami berusaha namun
hasilnya cukup mengecewakan, huhu.
So, tibalah saya untuk
menceritakan destinasi impian saya kalau ke Bali, mungkin banyak dari kalian
yang sudah pernah ke sana, tapi apakah ceritanya sama seperti yang saya
ceritakan? Atau fotonya sama seperti yang kami ambil?
Sampai di Ulun Danu Temple
“Akhirnya saya sampai di sini”,
kalimat pertama yang saya sematkan setelah melewati gate ini, dan menatap
banyak orang yang sudah mengantri di beberapa titik foto. Pura Ulun Danu Bratan
yang biasa saya lihat di uang kertas pecahan 50K.
Perjalanan yang cukup jauh,
kira-kira 56 KM dari Denpasar, dan membuat saya seperti pingsan selama di
mobil. Tapi percaya deh, udara sejuk yang ditawarakan Danau Beratan begitu
nyaman, dan membayar kelelahan selama di perjalanan. Harga tiket masuknya 25K per orang . Tips dari saya kalau mau datang ke sini sebaiknya di musim penghujan,
atau sekitar bulan Maret – Juni agar danaunya tak kering. Dan usahakan datang
pagi hari, siang menjelang sore terkadang hujan.
Saya tak ingin bercerita tentang
pura ini, karen tentunya kalian bisa baca dengan lengkap di Google.
Masuk di list tempat wajib dikunjungi pada liburan kali saya saat ini, karena
Pura Ulun Danu adalah tempat yang selalu gagal saya kunjungi kalau ke Bali
dengan alasan jaraknya yang jauh. Jadi
ketika ada yang mau, saya merasa beruntung banget. Pura Ulun Danu kala itu
memang ramai, tapi justru itu yang membuat saya sedikit bahagia karena melihat
banyaknya turis yang berfoto dengan gaya yang unik-unik, membuat saya tak kuasa
menahan tawa.
Suasana yang sangat nyaman,
bahkan saat duduk, saya bisa melihat pergerakan awan yang perlahan menutupi pegunungan
di seberang danau. Saat itu air memang tak mengeliling pura seperti di
foto-foto instagram, tapi saya tetap suka, dan sulit melepaskan pandangan dari
pura tesebut.
Berlari di Handara Gate
Selanjutnya adalah Handara Gate, lokasinya dekat sekali dengan Pura
Ulun Danu, keluar tinggal ke kanan terus lurus ajah. Sayang banget kalau enggak
seklai ke sini! Udah jauh-jauh ke Bedugul.
Awalnya, yang saya tahu tidak ada
HTM untuk foto di sana, karena tempat tersebut hanya gapura pintu masuk sebuah
resort. Tapi saat sampai di sana, mobil kami parkir, saya langsung kaget kalau
sudah ada tulisan HTM sebesar 20K per
orang, kami bayar, karena sudah
jauh-jauh tentunya kami tak mau perjalanan jadi sia-sia.
Ada apa di sana? Gapura sebagai
pintu gerbang masuk resot, seperti yang say abilang tadi, tapi memang
pemandangannya keren banget, kombinasi gapura dan suasana alam di belakanganya itu
juara banget! ditambah dengan putihnya awan yang bergerak perlahan semakin
membuat suasana nyaman. Tapi perlu
diingat, sebaiknya kita semua tahu diri untuk selalu bergantian jika berfoto di
tempat seperti ini, yang memiliki objek tunggal, saya sempat dibuat kesal
dengan sekolompok orang yang fotonya lama banget, bahkan ada yang pakai drone, sehingga membuat kami harus
menyingkir sejenak. Kzl!
Senyum terpaksa karena banyak yang ngantri di balik foto ini.... |
Menghirup Udara Bersih Desa Panglipuran
Menjadi salah satu desa paling
bersih di dunia! Kabar itu akhirnya sampai di telinga saya dan mensugesti
pikiran ini, “Saya harus mendatangi desa tersebut”, dan akhirnya Desa
Panglipuran masuk menjadi salah satu tempat wajib di kunjungi pada perjalanan
ke bali saat itu. Dan sulit untuk
menjabarkan dengan kata-kata betapa Desa Panglipuran begitu menyenangkan plus
keramahan para penduduknya yang juara.
Pertama saya sangat menyesal, karena faktanya di desa ini kita bisa
menginap dengan biaya sekitar 500K per malam. Kalau tau begitu, saya tidak memesan kamar di wilayah lain. Untuk masuk ke wilayah desa ini kami
dikenakan biaya 15K per orang, tidak termasuk parkir mobil 5K. Tips dari saya, sebaiknya kita menyewa
guide agar dijelaskan bagaimana keadaan desa, dan juga dibimbing agar bis
amasuk ke beberapa tempat yang tak sembarang orang bisa masuk. Bayarnya berapa? Hanya donasi! Seikhlasnya saja.
Selain menyewa guide agar saat kita keliling desa lebih
berfaedah, kalian juga jangan lupa untuk menyewa kain dan udeng khas bali,
sehingga foto menjadi lebih bagus. Bukan
hanya untuk foto sih, tapi saat masuk ke pura-pura yang ada di sana juga lebih
sopan. Harganya berapa? Kembali, cukup donasi seikhlasnya saja.
Menjadi salah satu desa terbersih
di dunia. Tak salah memang, selain suasananya yang nyaman plus orangnya yang
ramah-ramah, desa ini memang bersih dan rindang, juga bagaimana cara masyarakat
di sana bersosialisai dan bermusyawarnya itu menyenangkan banget. Bagaimana
mereka saling sapa saat bertemu, yang kemudian dilanjutkan dengan sedikit
percakapan. Jujur, saya semakin menyesal
tak mencoba menginap di sana.
Mandi di Tirta Empul
Selanjutnya, kami memutuskan
untuk bertolak ke wilayah sekitar Ubud karena penginapan yang kami pesan berada
di sana. Dan ada tempat lainnya yang harus dikunjungi, sudah sejak dulu saya
ingin sekali ke tempat ini, merasakan dingin airnya dan aroma kesegaran yang
ditawarkan. Saya pernah baca, katanya
kalau mandi di tempat tersebut bisa mewujudkan mimpi-mimpi....
HTM yang sudah tertera di loket. 30K untuk lokal dan 50K untuk turis,
kalau ingin masuk ke Tirta Empul, Desa Tampaksiring, Bali. Tapi urusan
bayar-bayar tak sampai di situ saja, ada donasi untuk penyewaan kain yang ‘sebenarnya’
tak wajib. Hanya sebagai penutup aurat saat masuk ke kawasan suci Tirta Empul. Saat itu saya menyewa 2 kain dan memberikan
donasi 15K, selain menghormati tempat suci, juga untuk pelebgkap atribut foto,
hehe.
Kira-kira doa apa ya? |
Hei! Belum selesai untuk urusan
duitnya... kami juga harus membayar sewa kain khusus yang digunakan untuk mandi
di sana, plus loker untuk menyimpan barang bawaan. Saat itu saya membayar 45K
utnuk 3 kain dan 1 loker.
Saya bingung, jujur, saya sangat bingung. Ada beberapa guide yang
menjelaskan, namun hanya tertuju pada rombongan yang ia bawa, sedangkan saya
hanya belajar dari pergerakan yang ada dan terlihat. Pertama ke sana, terus ke situ, dan berakhir di sana. Terkesan mudah,
tapi nyatanya sulit sekali.
Jelas sekali pemahaman saya yang masih cetek, Tipsnya! Yang saya lakukan
adalah mengikuti bule di depan saya, yang nampaknya serius sekali dalam
melakukan ritual mandi di sana. Jadi, akan ada banyak pancuran di Tirta
Empul, 11 atau lebih kalau tak salah, di aman setiap pancuran punya fokus
doanya masing-masing, ada ada beberapa pancuran yang dilewatkan, entah karena
apa.
Cukup mandi di sana, adalah misi saya kala itu. Beberapa kali berdoa,
namun tetap sesuai kepercayaan yang saya pegang. Efek yang saya rasakan, badan
saya segar sekali karen airnya memang dingin dan segar. Kemudian kaki saya
menjadi enteng karena saat masuk kolam banyak batu-batu yang diinjak, seperti
refleksi. Dan satu lagi, jangan kaget jika banyak kamera tertuju pada kita yang
sedang mandi di sana, beneran jadi objek foto banget! makanya rada malu kalau
salah, hehe.
Berkunjung ke Monkey Forest Ubud
Sebelum ke penginapan, sebenarnya
ada satu tempat lagi yang ingin sekali saya kunjungi, yaitu Monkey
Forest Ubud, sebuah kawasan hutan lindung yang di dalamnya terdapat
Pura Dalem Agung Padangtegal. Monkey
Forest Ubud sebenarnya memiliki nama asli, yaitu Mandala Wisata Wenara Wana,
yang beralamat di Jalan Monkey Forest Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Menjadi lokasi syuting film Eat Pray Love,
adalah salah satu alasan mengapa saya ingin sekali ke tempat ini. Merasakan udaranya
yang sejuk karena banyaknya pepohonan, dan juga melihat monyet-monyet yang
berkeliaran bebas. Meskipun saya sedikit
trauma dengan hewan yang satu ini, hehe. Sayangnya, karena sudah terlalu sore di hari itu, objek wisata yang
satu ini sudah tutup. Dan kami memutuskan untuk langsung ke penginapan, dan
menyiapkan tenaga untuk exsplore Bali keesokan harinya....
Spot foto wajib kalau ke Monkey Forest Ubud |
So, karena sudah terlalu panjang, mungkin sekarang saatnya saya berkata
“sampai jumpa di cerita selanjutnya....”
Psst! Buat kalian yang dalam hati berkomentar, "Kok tiap tempat bajunya beda?"
"Iya dong, kan bawa baju banyak, jadi tiap tempat ganti baju, hehe"
No comments