Perbincangan kami terhenti saat
memasuki tema ‘lebaran’. Sulit untuk
dituliskan dengan detail sih ngalor-ngidulnya obrolan sore itu. Yang saya
ingat, setelah saya ‘nyeletuk’ pernyataan teman saya, kemudian hening datang.
Kami semua bisa dibilang berpikir, berpikir untuk merespon atau melupakan
permasalahan yang terjadi. Ceritanya
begini, “Udah mau lebaran lagi ajah,
asik nih Jakarta bakal gak macet lagi” kata teman saya. “Emang harus nunggu lebaran ya buat Jakarta
gak macet?” sahut saya. Menurut kalian bagaimana?
Ibu Kota, yang kata banyak orang kalau gak macet, ya bukan Jakarta. Dulu
saya setuju, tapi sekarang gak hanya Jakarta yang macet, Depok juga macet
banget kalau rush hour. Dan diantara
keduanya, saya melihat hal yang sama, yaitu kemacetan yang didominasi oleh kendaraan pribadi. Oh iya, perlu ditekankan ya dalam tulisan
ini saya gak menyalahkan kalian yang punya kendaraan pribadi, apalagi sekarang
banyak mobil murah dengan kualitas bagus dan cara mendapatkannya pun mudah, cicilan mobil gak ribet saat ini. Tapi, bisa jadi kalian adalah solusi untuk
kemacetan.
Lebih dari 25 tahun tinggal di
Depok, saya ‘cukup’ senang merasakan perkembangan lalu lintas yang terjadi,
khususnya di jantungnya yaitu Jalan Margonda yang saat ini sudah banyak baget
modanya. Bahkan untuk pejalan kaki juga semakin menyenangkan, meskipun
terkadang harus ‘ngalah’ sama tukang pecel dan pangkalan motor, bahkan pot bunga raksasa yang ada di depan
kantor walikota juga menurutu saya agak menggangu, hehe.
Tapi tetap, macet di ‘Kota
Belimbing’ ini menjadi permasalahan yang kadang membuat saya berpikir, kalau
ojol atau motor (kendaraan roda dua yang
bisa nyelip-nyelip deh) adalah solusi terbaik. Ditambah angkutan umum yang dulunya banyak menjadi sedikit, tapi durasi
ngetemnya lama, dan yang ‘narik’ anak kecil pula, ngeri deh. Dan kalau boleh saran sih, Pak Polisi ada di
jalannya tiap hari dong, jangan pas butuh duit ajah atau keperluan TV doang, eh.
Kemacetan di Jakarta
Kemacetan adalah fase di mana saya mengeluh dan tiba-tiba pusing karena
kebayakan melihat HP dibandingkan realita yang terjadi. Menurut saya loh ya, tapi bisa kalian
abaikan, haha. Seperti yang saya sebutkan di awal tadi, kalau Depok dan
Jakarta ‘sekilas’ macetnya sama, tapi solusinya tentu berbeda banget. “Ris, kenapa bandinginnya Jakarta sama
Depok?” – “Ya, saya mainnya ke situ doang, hiks”.
Dari Depok menuju Jakarta itu
gampang banget! tinggal naik kereta yang waktunya jelas, dan bebas macet. Permasalahannya adalah ketika sampai di
Jakarta dan lokasi yang ingin kita tuju ternyata jauh dari stasiun. Eits, ada
Busway kali, 3500 puas ke mana-mana.
Itu yang saya anggap solusi untuk kemacetan di Jakarta, kombinasi dua moda
transportasi umum yang sudah melakukan perkembangan dengan sangat pesat.
Saya jadi ingat, dulu naik kereta tuh saingannya bukan hanya sama orang
saja, tapi sama tahu, keripik, gorengan, bihun, mie, jepitan, dan semua itu ada
di gerobak mininya, kereta tuh seperti pasar berjalan gitu. Berbeda jauh banget
dari sekarang, lebih lengkap dan teratur, begitupula dengan stasiunnya. Sama seperti
busway yang shelternya sudah mulai dilengkapi musholah, toilet, bahkan keduanya
moda tersebut sudah dilengkapi cctv untuk meningkatkan keamanan serta kursi
prioritas untuk yang membutuhkan. Kadang masih bingung sih sama banyak
orang yang bilang transportasi publik gak nyaman, kayaknya harus sering-sering nonton FTV deh, kali aja terinspirasi
ketemu jodoh di busway, haha.
Untuk busway, saat ini sudah
banyak banget titik temunya, dan sebenarnya sudah ‘dijamin’ punya red carpetnya sendiri, tapi ada aja
pengendara egois yang masuk jalur busway, bikin kzl dan bikin solusi pemerintah
jadi gak keliatan. Fyi nih, pemerintah
melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sudah bekerja sangat keras mencari
solusi untuk kemacetan di Jakarta, salah satunya dengan ‘mengurai kemacetan’. Maksudnya? ‘Membagi-bagi’ kemacetan dengan
daerah yang membuat Jakarta macet, seperti Bekasi, Depok, Tangerang.
“Berbicara tentang transportasi, tentunya kita tidak bisa mengenal
batas wilayah” kata Pak Bambang Prihartono. Untuk itu, BPTJ hadir, suatu
badan yang menangani dengan spesifik, mengkoordinasikan dan mensinkronisasikan
perhubungan antar wilayah. Kalian tau
dong tentunya kalau setiap wilayah memiliki peraturan daerah yang berbeda.
Dengan kata lain, selain mengatur transportasi antar wilayah, BPTJ juga harus
membuat kebijakan untuk menghentikan kemacetan di Ibu Kota yang sebenarnya
adalah poros, titik temu dari pengguna kendaraan di wilayah sekitar.
Skema ganjil-genap di jam tertentu serta pengaturan jam operasional
angkutan barang, dan menghadirkan Bus Trans Jabodetabek, adalah kebijakan yang
telah dilakukan dan dinilai memberikan efek yang cukup baik. Namun, semakin
disadari dan secara tidak langsung kebijakan tersebut hanya bersifat ‘pendek’. Entah sampai kapan kebijakan tersebut
dipakai mengingat orang ‘kita’ semakin pintar mencari celah.
Kita, Solusi Kemacetan Saat ini?
Tahu lagunya Michael Jacson yang Man in the Mirror gak sih? Sepertinya lagu
itu cocok deh menemani kalian membaca lanjutan tulisan ini.
Saya sering sekali mendengar
orang yang bercerita tentang pengalaman mereka jalan kaki di luar negeri, Singapura deh misalnya, yang meskpiun
panas tapi tetap dijabanin. Mau coba di Jakarta? Kecil sekali
kemungkinannya. Masalah utamanya bukan panas, tapi udah keduluan sama tukang parkir, atau tukang gorengan di siang hari
dan pecel di malam hari. Pun demikian, trotoarnya kecil dan kadang ada
bekas galian yang ditinggal begitu saja. Lewat aplikasi yang bernama Qlue,
seharusnya (kalau gak salah ya, setau
saya) kita bisa protes akan hal ini, dan
Qlue gak mungkin dong buat pengaduan dengan sendirinya, hehe.
Kemudian pernah gak sih kalian
berpikir kalau orang yang sudah keluar
negeri itu sebenarnya agent of change
untuk negaranya. Bukan hanya
membandingkan atau ngayal ini-itu. Bukan
maksud sotoy nih, salah gak ya kalau saya mikir orang yang naik mobil pasti
pernah ke luar negeri? Yaaaa, kalau belum semoga secepatnya,
biar tahu betapa mahalnya biaya menggunakan mobil di waktu-waktu tertentu,
terus gak kaget pas diterapkan di Indonesia, hehe.
Kemacetan tuh kayak persoalan klasik yang berbelit. Pembahasannya
di situ-situ saja, tapi itu dulu, sekarang pembangunan di mana-mana (kayaknya harus sering diadain acara
bertaraf internasional nih, biar pembangunan jalan terus, haha), yakin deh saya
MRT, LRT bisa jadi solusi kemacetan panjang, apalagi kalau semua pihak
menggunakannya. Btw, Petinggi-petinggi
negara boleh gak sih naik angkutan publik? Nanya serius nih! Soalnya, saya
tuh ngeliat cuma pas acara peresmian/pembukaanya aja. Karena kalau menurut saya
ya, kenapa kita semua gak menempatkan diri sebagai orang yang bisa dicontoh.
Atau mungkin, istilah transportasi menentukan strata dan menghilangkan nilai
sosial, itu benar?
Menurut kalian bagaimana? Ini juga nanya
serius!
No comments