Awalnya akan terkesan sia-sia,
buat apa masuk museum yang harganya 25 ribu tapi tak boleh foto-foto, “Apa bukti otentiknya” kalau kata kids
zaman now. Tapi Museum Warisan Peranakan
Tionghoa Tangerang yang satu ini justru membuka mata dan pikiran saya tentang
‘HTM’ sebuah museum old fashion, bahkan
peraturan tak boleh mengambil foto di
dalam museum mengingatkan saya akan study
tour SD dulu, no phone dan saya
fokus mendengarkan sang pemandu. Museum
Benteng Heritage sukses membawa saya bernostalgia dengan Tangerang tempo
dulu, mungkin hanya sedikit yang saya ingat, tapi ini menarik dan bisa menjadi
satu alasan kenapa kalian harus explore kota benteng ini. Cek this out!
Di balik keramaian Pasar Lama Tangerang yang semakin siang semakin
meredup, saya masih sibuk memilih pijakan conblock
yang kadang menjebak menuju Klenteng Boen Tek Bio, salah satu klenteng tertua di
Tangerang yang menjadi satu-satunya objek wisata yang saya tahu ketika
memutuskan untuk menjelajah kota Tangerang beberapa waktu lalu. Tentunya ada
banyak fakta dan informasi menarik akan klenteng di tanah air, termasuk Boen
Tek Bio, yang pasti sudah banyak di google, hehe.
Tapi bukan berarti saya malas untuk datang ke tempat ini, human interest tetap menjadi satu hal yang ‘berharga’ untuk
dilewatkan.
Siang itu sudah terlihat beberapa
orang yang sedang berdoa di depan Thian Shin Lou atau tempat menancapkan hio,
yang paling menarik perhatian saya adalah pelepasan burung, entah burung apa
dan maksudnya apa, tapi saya merasakan aura kebebasan kala itu. Pengurus
klenteng sangatlah ramah, saya melihat senyum yang sering kali terlukis di
wajah mereka tanpa takut terganggu, dan saya pun sadar diri untuk tak terlalu jauh
melihat ke dalam klenteng, kita harus tahu batasan ‘menjelajah’ sebuah tempat
itu seperti apa, iyakan smart traveler?
Ketika keluar Klenteng Boen Tek Bio
saya baru tersadar kalau ada sepasang Singa Batu atau Cioh Sai yang menyapa
saya ketika masuk, karena sepasang otomatis itu jantan dan betina dong
pastinya, meskipun saya belum tahu pasti kebenarannya. Tak ingin mengambil pusing,
saya menempatkan diri sebagai penikmat perjalanan saja siang itu, hingga
akhirnya lapar dan memutuskan untuk mencari kuliner khas kota Tangerang.
Perjalanan keluar pasar justru mempertemukan saya dan blogger lainnya pada satu
bangunan unik, bisa dibilang kami beruntung, dan explore Tangerang semakin seru
untuk dilanjutkan. Seperti tulisan ini.
Beberapa kegiatan yang bisa kita lihat di Klenteng Boen Tek Bio |
Yuk Bernostalgia dengan Tangerang Lama!
Bagi saya muka bangunan ini tak
terlalu mencolok perhatian, seperti rumah tinggal biasanya, karena faktanya
Museum Benteng Heritage ini memang rumah tinggal dulunya. Ada tiga rumah yang
diwariskan, ‘satu anak satu rumah’ namun dua diantaranya dibeli pada 2009 lalu,
yaitu rumah yang berada di tengah dan kanan ketika kita menghadap ke arah luar,
sedangkan yang kiri hingga saat ini masih ditempati pemilik aslinya, hanya
dibatasi dengan tembok yang masih asli yang berasal dari abad ke-19.
Museum Peranakan Tionghoa pertama
di Indonesia, begitulah julukan untuk Benteng Heritage. Jika ingin memasuki
museum ini, kita harus mengeluarkan uang 25 ribu (saya datang saat Sabtu), Saya
pikir sang pemilik museum ini sangat pintar menjaga koleksinya, HTM yang mahal
membuat tak sembarang orang ingin masuk museum ini. Museum ini juga sangat
menjaga keaslian bangunannya, selain tembok asli yang dipertahankan, ubin/lantai
dengan tebal sekitar 12,5 cm pun dibawa langsung dari Tiongkok, beberapa sisi tembok
juga tidak rata karena hanya direstorasi dengan batu bata merah, pasir dan
kapur saja, persisi seperti rumah tiongkok zaman dulu.
Semakin takjub ketika saya tahu
kalau tiang penyangga/pondasi Museum Benteng Heritage terbuat dari kayu shi,
yang semakin lama justru semakin kuat, pintu dan jendelanya pun masih dengan
partisi yang asli dari abad ke-17. Pertama kali memasuki museum ini kita akan
dikumpulkan terlebih dahulu di ruang depan, tepat di depan tempat memberli
karcis masuk, kita akan dijelaskan terlebih dahulu peraturan yang berlaku di
museum tersebut, diantaranya tak boleh mengambil foto dan merekam, serta harus
terus dekat dengan sang pemandu. Ma Martin nama pemandu saya saat itu.
“Ada 4 lukisan yang diambil dari foto hitam putih, kenapa dilukis? Agar
ketika diperbesar tak pecah dan bisa berwarna” ujar Mas Martin
memperkenalkan empat maestro pembuka tour Museum Benteng Heritage. Seketika
saya merasa masuk ke dalam salah satu lukisan yang berada tepat di belakang
saya, situasi pasar lama di tahun 1950, “kalau keluar museum ke arah kanan ada
pertigaan yang mengarah ke klenteng” Mas Martin mendeskripsikan. Lukisan di
museum ini seakan mengajak saya bernostalgia dengan Tangerang zaman dahulu,
kalau tadi ke arah kana sekarang ke arah kiri, jalana yang masih terlihat rapih
karena pasar masih di pinggir belum tumpah ke jalan, masih tertib.
Lukisan tahun 1940an juga menjadi
cerita kenangan untuk kota benteng ini, tentang Stasiun Tangerang yang
sayangnya saat ini sudah tak ada lagi, sudah menjadi lahan parkir. Dulu,
stasiun itu digunakan sebagai gudang gula dan garam, hasil bumi Tangerang yang
siap kirim ke Batavia. Kalian tahu tidak, ternyata dulu itu kalau suatu daerah
tak memiliki hasil bumi, maka tak akan dibuatkan stasiun/perlintasan kereta,
beruntungnya tanggerang punya garam dan gula, meskipun saya sendiri kurang
begitu tahu, yang saya tahu dari perjalanan itu hanyalah kecap merek SH yang menjadi
produksi khas Tangerang.
Akhirnya kami melangkah masuk
museum ini, saya cukup kaget ketika ada orang di dalamnya sedang membersihkan
piring, untuk jamuan makan besar besok katanya. Ternyata museum ini juga
menyediakan tour dengan paket makan, waw.
Saya masih merasa museum ini seperti rumah tinggal banget, tata letak
perabotannyalah yang memaksa saya berpikir demikian, padahal saya sudah takjud
di awal tadi. Jangan lakukan kesalahan
seperti yang saya lakukan, jika tak ada Mas Martin yang menjelaskan mungkin
saya akan menganggap gerbang kayu yang berbentuk lingkaran yang tepat berada di
lorong masuk tadi hanyalah gerbang biasa, namanya gerbang bulan yang terbuat
dari kayu berumur lebih dari 200 tahun, motifnya sangatlah istimewa yaitu
perpaduan Indonesia dan Tionghoa yang digambarkan dengan motif megamendung dan
burung hong. Dan penyesalan saya berlanjut ketika Mas Martin berkata “Boleh foto-foto jika datang pas ulang
tahun, kemarin tanggal 11 bulan 11”.
Bisa abaikan kami, tapi perhatikan lukisan yang ada di belakang kami! |
Kami masih duduk di ruang tengah di
hadapan gerbang bulan, rasanya tak ingin beranjak, suasananya cozy banget,
nyaman meskipun banyak barang. Ada lampion besar menggantung yang membuat saya
ingin bermain ke lantai atas, kepo ada apa di sana, dan ternyata memang tour
ini mewajibkan kami ke lantai 2, melewati tangga yang sudut kemiringannya 45
derajat. Museum Benteng Heritage memiliki 3 lantai, namun lantai ketiga
hanyalah gudang sedari dulu, jadi waktu kami lebih banyak di lantai 2. Banyak banget barangnya! Kira-kira seperti
itulah komen pertama saya. Pertemuan kami dengan museum ini seperti tepat, Mas
Martin menjelaskan kepada kami tentang kecap SH, lagi, padahal sebelumnya kami
sempat berkunjung ke pabriknya.
Tangerang terkenal dengan kecap
bentengnya, sebenarnya ada 2 merek kecap benteng, Teng Giok Seng dan SH.
Keduanya terbilang sangat fenomenal dan khas banget dari Tangerang. Saya
bingung ini bagus atau buruk, tapi jika melihat sisi bisnis Teng Giok Seng yang
sudah berdiri sejak tahun 1882 nampak melakukan ‘kesalahan’ dalam hal
pemasarannya yang terlalu sempit dan masih menggunakan botol kaca sehingga
kurang populer dibandingkan dengan kecap SH yang pemasarannya lebih luas dan
sudah hadir dengan botol plastik kecil dan kemasan isi ulang. Namun keduanya
tetap menggunakan kedelai hitam yang difermentasi tanpa bahan pengawet. Kecap
benteng pun terkenal dengan slogannya “Selalu nomor satu”, tak pernah
ada dua, dengan tingkatan 1a artinya manis, 1b sedang, dan 1c asin. Tapi jika
kalian ingin mencicipi kecap asin SH, maka kalian harus bersabar karena SH
hanya memproduksi kecap asin setahun sekali, hanya saat imlek.
Oh iya, kalian tahu tidak kalau
Tionghoa juga ada ‘Palang Pintu’ loh, di Museum Benteng Heritage ini kalian
bisa lihat dan merasakannya sendiri, pintu ‘pintar’ asli abad ke 17 yang mudah
untuk ditutup tapi sulit sekali untuk dibuka, Mas Martin mengajak kami
memecahkan teka-teki pintu tersebut dan bisa dikatakan saya pribadi menyerah. Palang
Pintu Tionghoa bukan seperti yang kita kenal, ini benerang palang yang ada di bagian
bawah pintu dan berfungsi sebagai penyelamat dan pemberi hormat kepada sang
tuan rumah. Jadi gini, kalian tahukan
kalau baju orang Tionghoa dulu panjang-panjang? Nah, ketika memasuki
rumah/bertamu pasti mereka menggulung baju sebelum melintas palang pintu
tersebut, saat itu juga mereka menunduk dan secara tak langsung memberikan
penghormatan kepada yang punya rumah. Kemudian ketika ke luar, mereka melakukan
hal yang sama sekaligus untuk berhati-hati dalam melangkah hingga ketujuan.
Filosofi yang menarik dijelaskan oleh Mas Martin.
Nih kecap SH yaaa |
Museum ini juga mempertemukan
saya dengan Patung Dewa Pendidikan yang bisa menjawab pertanyaan saya tentang
pendidikan, saya sulit menjelaskan karakteristik patung ini, pokoknya ketika
kalian berkunjung pasti ketemu. Juga terdapat banyak timbangan yang menjelaskan
bahwa daerah ini dulunya pasar, bahkan timbangan narkoba pun ada loh.... Selain
itu juga ada koleksi perangko, koin dari tahun ke tahun, hingga buku cerita
terjemahan yang tertata rapih di dalam rak kaca. Cerita yang menarik kembali
dituturkan Mas Martin saat kami semua berada tepat dihadapan lukisan Laksamana
Cheng ho, asal mula nama ‘Cina Benteng’ yang ternyata ‘cukup menyedihkan’ (mungkin akan saya tuliskan terpisah, karena
cerita ini sudah terlalu panjang, hiks).
Beranjak dari lukisan, akhirnya
saya melihat lampion yang menggantung tadi lebih jelas dan lebih dekat,
dikelilingi kayu lusuh yang memang tak dicat ulang agar keasliannya tetap
terjaga. Tahun 2009 ketika gedung ini dibeli kemudian dibersihkan, barulah
Museum Benteng Heritage ini semakin tak ternilai harganya, tepat di atas kepala
saya, di atas kami duduk tadi, ternyata ada ukiran dari batu yang tersambung, tak terpisah, sebuah ukiran yang menceritakan
Dewa Kwan Kong yang harus melewati 5 gerbang/negara dengan tantangan dari
Chaw-chaw musuhnya. Setia, jujur dan pemberani adalah sifat dari Dewa Kwan Kong
yang bisa kita temua hanya di kantor polisi, Kejaksaan, dan Rumah
Komunitas/Organisasi (saat ini Museum Benteng Heritage Peranakan Tionghoa).
Eh, kalian bisa loh liat keseruan perjalanan saya di Tangerang pada vlog ini....
Di lantai dua ini juga saya
seakan diajak bermain, ada sebuah meja dengan sekumpulan permainan Tionghoa,
permainan judi deh kayaknya, uniknya meja tersebut lengkap sekali dengan
ruang-ruang rahasia untuk menaruh uang dan minum, para pemain nampak dituntut
fokus dalam berjudi sehingga fasilitas meja ini terbilang lengkap di zamannya. Setelah
bermain, Benteng Heritage juga mengajak kami untuk pesta tiga hari tiga malam, menikmati
suasana pernikahan budaya Tionghoa dulu, mulai dari proses potong ayam, bumbu masak, hingga hari pernikahan dengan
keunikan tersendiri, jadi dulu itu setiap pengantin wanita pasti diatas jidatnya
ada huruf V yang disertai mantra, V menghadap keatas untuk yang masih perawan,
dan V menghadap ke bawah untuk yang sudah tak perawan, namun banyak yang
menggunakan lem katanya, ups.
Hari semakin sore, dan sepertinya
lorong waktu yang kami lewati akan segera berakhir, tapi sebelum hal itu
terjadi saya justru mendapatkan jawaban atas pertanyaan di Klenteng tadi, kalian
taukan tadi saya sempat bertanya bagaimana membedakan dua singa yang ada di
Klenteng Boeng Tek Bio? Jadi kita lihat saja apa yang mereka injak, jika bola
dunia maka itu yang jantan, maksudnya adalah pria harus bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan, sedangkan betina pasti meninjak anaknya yang artinya ia bertugas
menjaga anak. Kodrat zaman dahulu katanya, kalau sekarang sih..... Yuadah
pokonya sampai jumpa di cerita explore Tangerang selanjutnya!
Info lanjut:
Museum Benteng Heritage
Jalan Cilame No. 20, Pasar Lama
Tangerang 15118
email : info@bentengheritage.com
Info lanjut:
Museum Benteng Heritage
Jalan Cilame No. 20, Pasar Lama
Tangerang 15118
email : info@bentengheritage.com
Menarik sekali perjalanannya ke Tangerang
ReplyDeleteIya dong, kan jalannya sama blogger-blogger hitzzzz wkwkwkw
DeleteApalagi pas jelasin tentang sepatu yg dipakai wanita yg jari2nya harus diikat. Serem bangeeeettttt
ReplyDeleteItu rencana mau aku tulis, tapi aku ragu, huhuhu... serem...
DeleteEikw yang deket banget sama Tanggerang tapi belum pernah ketempat ini hahaha kalah sama orang #Jakarta
ReplyDeleteAku paling suka nonton Unyil Jalan-jalan, apalagi kalau sudah ngunjungin pabrik gitu, jadi tahu proses pembuatan sesuatu. Nah, aku belom pernah liat edisi pembuatan kecap. Menarik ya saat produk lokal masih bertahan :)
ReplyDeleteKeinget juga ada satu tayangan yang memperlihatkan para kolektor (botol) kecap. Kece bener!
Cakep foto-fotonya mas.
Di Jogja ada juga museum yang tidak diperbolehkan untuk memotret. Kalau masuk lebih suka bawa buku catatan untuk mencatat apa yang ada di dalam
ReplyDeletenah kalau cerita klentengnya aku suka...
ReplyDeletekecapnya hits ya kak
ReplyDelete